About

Pages

Selasa, 05 Juni 2012

Tangga Surau Yang Bersinar



Ku ; Eru Zain
          Ketika shalat ashar telah didirikan, temanku yang bernama hamdan terlihat riang. Boleh jadi karena ia mau di ajak oleh mas Ibnu nonton film dokumenasi Palestina yang judulnya itu “ketika batu berterbangan”. Mas Ibnu pun datang ke kosanku yang kebetulan kosannya Hamdan juga.
          “Eh sab, mau ikut juga gak nonton film di rumahku ?” ajakan mas ibnu kepadaku.
          “iya deh, aku mau ikut” jawabku bersama senyum terimakasih ku lemparkan.
          “kalau gitu sekarang kita berangkat. Aku dan Sabri jalan dan kamu pergi dulu samperin Izhar kerumahnya, ajakin dia bareng kerumahku” ujar mas Ibnu
          Aku pun bersama mas Ibnu berangkat menuju rumahnya dan obrolan-obrolan angin pun mempercepat perjalanan ini.
          “ayo masuk sab, jangan malu-malu”
Aku pun masuk dan bersal;am-salim pada orang tua mas Ibnu.
          “mah.. ini teman Ibnu mau main” mas Ibnu sambil salim kepada mamahnya.
          “eh sab silahkan duduk dulu” tawaran mas Ibnu, kemudian ia pergi kebelakang. Tak lama ia kembali ke hadapanku sambil membawakan teko yang berisi air dengan beberapa gelas juga.
          “aduh mas, aku jadi gak enak nih. Jadi ngerepotin”
          “gak apa-apa biasa aja sih, mari di minum”
Aku pun meminumnya dan kebetulan juga aku haus. Setelah itu aku ngobrol-ngobrol di ruang tamu, yang di obrolin sih gak jauh tentang sekolah dan organisasi terutama rohis. Tak lama kemudian terdengar suara motor memasuki halaman rumah mas Ibnu. Setelah di tengok, ternyata motornya Izhar yang dikemudikan oleh Hamdan dan Izhar yang menumpanginya.
          “assalamu’alaikum” mereka berdua memberi salam.
          “wa’alaikum salam” salam pun terjawab.
Mereka berdua pun masuk dan setelah itu mas Ibnu mempersiapkan DVD player dan TV kemudian film pun di putar. Lumayan, filmnya membakar semangat kami untuk merasakan juga perlawanan jihad di Palestina. Bagian demi bagian terlewati, kesedihan dan tangisan telah terlalui, darah merah pun telah membasahi tanah air kiblat yang pertama. Peluru demi peluru telah di ledakkan itulah suasana Palestna yang kami lihat melalui kepingan CD yang kami lihat di layar kaca.
          “ Allahu akbar... Alllahu akbar...”
Adzan magrib pun berkumandang setelah film selesai di putar. Dengan raut kepastian mas Ibnu mengajak dengan penuh kelembutan.
          “ayo kita pergi ke surau kita shalat berjamaah di sana’
Kami pun beranjak dari tempat duduk dengan badan yang sedikit pegal, karena cukup lama didepan layar kaca yang sempat membuat aku penasaran. Mas Ibnu pun berjalan selangkah demi selangkah kakinya yang bersih menapaki lantai-lantai pesegi yang kesat. Kemudian kami pun beriringan mengikutinya. Kami menuju pintu rumah, gagang pintu yang merupakan logam yang bersinar tersinari cahaya lampu yang belum lama di hidupkan menerangi ruangan gelap.  Gagang pintu itu di pegang tangan kanan mas Ibnu kemudian di putarnya perlahan dan pintu yang merupakan jembatan ruangan pun akhirnya terbuka. Kami pun menuju sandal-sandal yang berserakan ditepi lantai. Kaki pun satu persatu menghinggapi sandal yang begitu bersedia menjadi alas dari kaki-kaki yang hendak bertebaran di muka bumi ini. Alangkah bangganya kaki-kaki ini menuju yang haq dan bertolak selalu menjauh dari arah-arah jalan yang batil.
          Gerbang rumah mas Ibnu pun di buka dan kami berjalan beriringan ke luar menuju jalan ke surau yang lebar jalannya kurang lebih  tiga meter saja, yang disampingnya jajaran salura air yang kering di hari ini. Sorotan cahaya kendaraan mobil dan motor yang yang menyilaukan pandanganku. Kendaraan itu seperti terburu-buru di kejar waktu magrib yang sempit dantara waktu-waktu shalat yang lain. Kami berjalan dengan sedikit kegelapan menyelimuti jalan yang hanya tersinari lampu rumah-rumah warga yang berada di pinggir jalan. Langit pun mulai menunjukan bentuk malam dengan merah saganya yang menggetarkan alam.menjadikan ambang batas hari yang cerah. Sedikit ucapan menjadikan obrolan yang tak terasa menganarkan kami ke depan Rumah Allah yang suci.
          Jamaah shalat Magrib pun telah berkumpuldi Mushola At Taqwa yang luasnya sekitar 5 × 7  meter dengan dua lantai. Lantai pertama khusus khusus di tempati oleh jamaah laki-laki dan lantai ke dua di peruntukan untuk jamaah perempuan. Kami bergiliran hampir membentuk antrian untuk mengambil air wudlu bersama jamaah yang lain. Muka dan anggota wudlu pun terbasuh air pembawa kemenangan menuju sang pencipta Allah SWT. Kemudian iqamat di kumandangkan dan barisan mulai di luruskan serta dirapatkan agar syaitan-syaitan tidak menyelinap melalui shaf yang teguh walau mereka seperti anak kambing yang menyelinap pagar-pagar kebun yang hijau.
          “iyya ka na’budu waiyya ka nas ta’in”
Hati pun terengah “hanya kepada Engkaulah aku menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta”
          Shalat magrib pun telah di tunaikan dari takbiratul ikhram sampai salam. Setelah itu aku berdoa kepada Allah  dengan segala perlindunganNya. Setelah itu tasbih, takbir dan takhmid di ucapkan imam dan di ikuti oleh makmumnya. Kemudian hanya sebagian kecil dari jamaah yang meneguhkan salah atu sunnah rasulullah saw yaitu shalat dua rakaat ba’diyah magrib. Hati kecilku pun menangis bahwa sangat jelas sekali kemunduran keimanan di hati umatnya. Sepertinya manusia sudah enggan menjalankan As Sunaturrasul, mungkin mereka belum tahu bahwa amalan sunnah akan menutupi segala kekurangan amal-amal yang wajib. Seakan-akan mereka sudah optimis akan amalan mereka yang dirasa sudah cukup sempurna padahal dalam urusan ini kita di anjurkan untuk rendah hati dan harap-harap cemas selalu merasa kurang.
          Kami keluar surau kemudian mas Ibnu berkata
          “eh ko Izhar lama banget amalan dzikirnya ?”
          “oh mungkin sudah kebiasaan dia di lingkungannya” jawab Hamdan sambil memperhatikan Izhar yang masih di dalam surau.
Tak lama kemudian Izhar pun keluar dari dalam surau yang hampir sudah agak sepi. Kami pun pulang dari surau kembali menuju rumah mas Ibnu. Setelah tiba di rumah mas Ibnu, kami pun duduk-duduk di ruang tamu melanjutkan pembicaraan tadi sore. Kulihat di balik jendela, langit merah sudah jauh meninggalkan peraduannya menuju ufuk barat. Tenggelamlah engkau menuju terbitmu esok pagi.
          Panggilan kemenangan pun kembali terkumandang. Salah satu waktu shalat yang pengerjaannya berjamaah adalah anjuran rasulullah yang di era ini manusia bermalasan untuk menunaikannya. Wahai Isya yang berbintang antarkanlah aku menuju segenap keridhoanNya. Kami ber empat kembali menuju rumahNya menghadapkandiri agar tertunainya shalat malam yang wajib. Tak ayal seperti halnya shalat wajib tapi kulihat jamaah Isya lebih sedikit di bandingkan jamaah shalat magrib. Di waktu Isya ini kebanyakan jamaahnya orang-orang yang telah renta dan lanjut usia yang kualitisnya telah berkurang. Kemanakah orang-orang yang akan membangun Islam. Tulang punggung pembangunan agama yang di ridhai Allah swt. Hati kecilku sangat tersentuh bahkan sampai terpukul menatap kemunduran ini. Iqamat pun di kumandangkan oleh seorang laki-laki tua dengan power suara serta lafalnya sedah berkurang dan perlu pengganti, penerus dan pelurus. Alhamdulillah shalat berlangsung dengan khidmat. Air mata pun berlinang, aku berhadapan dengan sang maha pengasih, sang khalik yang maha besar. Dengan diri yang penuh dosa dengan kesalahan yang di khilafkan dengan tangan yang kotor akan kenistaan.
          Salam pun terucap mengakhiri shalat Isya. Doa dan dzikir pun di panjatkan ba’da shalat. Setelah itu kami pun keluar  surau mata pun terarahkan pandangannya pada seorang gadis sebayaku keluar dari lantai dua surau dengan mengenakan busana shalat penutup aurat dengan warna putih menyilaukansampai sinarnya seakan menerangi mata hati ini. Hatiku pun sedikit berseri melihat seorang gadis di akhir zaman ini. Di zaman yang menyedihkan ini masih ada wanita muda seperti itu. Aku pun saling berpandangan dengannya walalupun mungkin hanya selama lima detik. Wajahnya sangat cantk, ayu berseri di waktu Isya. Aku pun berharap gadis seperti inilah yang mendampingiku hidup di dunia ini untuk mendapatkan ridha Allah dan semoga yag seperti itu pula lah yang menjadi para pemimpin bidadari-bidadari syurga yang bersedia di wariskan dan menemaniku di syurga, sepertinya aku sangat rindu padanya semoga pula harapanku ini dapat terwujud.
          “woiyyy udah jangan dilihatin mulu, udah jauh juga”
Mas Ibnu menggertak ku sambil menepukkan tangannya dibagian punggungku.

Dia itu …
Lebih berharaga dari dunia beserta isinya
Lebih sejuk dari putri senja
Lebih segar dari mawar bergaris
Lebih jernih dari relung telaga
Lebih putih dari bulir salju
Lebih hangat dari mentari pagi
                   Sesegar telaga la kautsar
                   Sesuci air wudhu
                   Sesejuk udara subuh
                   Setulus angin bertiup
                   Sekilau zamrud katulistiwa
Menghiasi kehidupan
Mengisi kesepian
Memenuhi sebuah janji
Menyampaikan amanah
                   Itulah kau wahai kau manis di kejuruan
                   Kau surga bukanlah neraka
                   Kau madu bukanlah racun
                   Ukhti... wanita saliha



0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More