About

Pages

Rabu, 11 Juli 2012

Melampaui Islam, Muslim dan Negara

Oleh : Eru Zain
Bersama hamparan luasnya cakrawala kehidupan dan bersama getaran ruang bumi dan langit maka saya akan mencoba berdendang bersama pena ini. Bernyanyi menyanyikan lagu-lagu kehidupan. Mengajak semua mahluk menggemakan ide dan pikir yang tak terbatas. Di bagian ini saya akan menuliskan beberapa hal mendasar tentang sebuah nama dan sebuah makna yaitu al Islam dan Al Muslim dan bagaimana integrasinya dengan Negara. Beberapa fitnah terjadi di muka bumi ini belakangan sering dikait-kaitkan dengan makna Al Islam dan Al Muslim itu. Ditengah hiruk pikuk hegemoni kehidupan umat manusia bersama agamaya. Banyak fenomena yang mungkin sebagian orang menyatakkan ini adalah hak asas mengenai agama. Ada yang berpegang teguh dan konsisten terhadap agama, bahkan ada yang berani membuat agama baru yang dengan lantang menyuarakan pemahaman dan kepercayaan baru akan ketiadaan Tuhan.
A.    Tentang Al Islam
Secara etimologi kata Islam di ambil dari beberapa kata dalam bahasa arab dan bukan di ambil dari bahasa lain. Kata Islam yang pertama berasal dar kata :
1.      “Islamul Wajhi” yang berarti menundukkan wajah.
Allah Swt berfirman :
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya” (QS :4:125)
Islam adalah sebuah nilai ketundukan dan pengabdian diri dengan ikhlas di hadapan Allah SWT. Tidak ada sebuah ketundukkan di dalamnya melainkan kepada sang khaliq penggenggam setiap jiwa mahluk di semesta ini.

2.      “Al Istislam” yang berarti berserah diri
 “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan” (QS:3:83)
Tergambarkanlah disini bahwa Al Islam adalah melakukan ketundukan maka ada sebuah sikap berserah diri, bahkan di ayat tersebut segala yang ada di langit dan di bumi adalah hamba Allah yang harus berserah diri dan semua akan kembali kepada Allah.

3. “As Salamatu” yang berarti Suci dan Bersih
ž
 “kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”(QS:26:89)
Setelah berserah diri Al Islam akan memancarkan kebersihan dan kesucian hati bahkan jiwa dan raga dan kondisi Suci dan bersihlah yang akan tersenyum ketika menghadap Allah SWT.
4.      “As Salaamu” yang berarti ke selamatan
#sŒÎ)ur x8uä!%y` šúïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sム$uZÏG»tƒ$t«Î/ ö@à)sù íN»n=y öNä3øn=tæ
“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS:6:54)”
Salaamun 'alikum artinya mudah-mudahan Allah melimpahkan kesejahteraan atas kamu.
Al Islam merupakan sebuah tatanan peraturan hidup yang kemudian akan membawa keselamatan dan akan berbuah kesejahteraan, tidak hanya di dunia bahkan di akhiratlah semua akan terlihat dengan sebenar-benarnya.
As Salmu” yang berarti perdamaian. 


“Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu” (QS:47:35)

            Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab  atau sering juga beliau di sebut Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, menyampaikan dengan begitu lugasnya, memperkenalkan kepada kita tentang Islam. Beliau menuliskan di dalam kitab Usul Tsalatsah tentang bagaimana mengenal Islam. Berikut sedikit saya kutipkan sebuah goresan hikmah yang beliau sampaikan.
“Islam, ialah berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya  dengan penuh kepatuhan akan segala perintah-Nya serta menyelamatkan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik. Dan agama Islam, dalam pengertian tersebut, mempunyai tiga tingkatan, yaitu : Islam, Iman dan Ihsan, masing-masing tingkatan mempunyai rukun-rukunnya”.
Sebenarnya, inilah yang di gambarkan di dalam hadits ke dua dalam  Hadits Arbain yang di himpun oleh syaikh An Nawawi rahimahullah.

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ )  [رواه مسلم )   
“Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah SAW suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah SAW ) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah SAW: “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“.  Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata:  “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda:  “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah SAW) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “. (Riwayat Muslim)
Hadits ini merupakan hadits yang sangat dalam maknanya, karena didalamnya terdapat pokok-pokok ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan .Hadits ini mengandung makna yang sangat agung karena berasal dari dua makhluk Allah yang terpercaya, yaitu: Amiinussamaa’ (kepercayaan makhluk di langit/Jibril) dan Amiinul Ardh (kepercayaan makhluk di bumi/ Rasulullah SAW)

Dan agama Islam, dalam pengertian tersebut, mempunyai tiga tingkatan, yaitu : Islam, Iman dan Ihsan, masing-masing tingkatan mempunyai rukun-rukunnya.

a.    Tingkatan Islam

Adapun tingkatan Islam, rukunnya ada lima :
1.      Syahadat (pengakuan dengan hati dan lisan) bahwa "Laa Ilaaha Ilallaah" (Tiada sesembahan yang haq selain Allah) dan Muhammad adalah Rasulullah.
2.      Mendirikan shalat.
3.      Mengeluarkan zakat.
4.      Shiyam pada bulan Ramadhan, dan
5.       Haji ke Baitullah Al-Haram.

b.    Tingkatan Iman.
Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang yang paling tinggi ialah syahadat "Laa Ilaaha Ilallaah", sedang cabang yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan sifat malu adalah salah satu dari cabang Iman.

Rukun Iman ada enam, yaitu :
1.      Iman kepada Allah.
2.      Iman kepada para Malaikat-Nya.
3.      Iman kepada Kitab-kitab-Nya.
4.      Iman kepada para Rasul-Nya.
5.      Iman kepada hari Akhirat, dan
6.      Iman kepada Qadar, yang baik dan yang buruk. (Qadar : takdir, ketentuan Ilahi. Yaitu : Iman bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam semesta ini adalah diketahui, dikehendaki dan dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala).

c.    Tingkatan Ihsan.
Ihsan, rukunnya hanya satu, yaitu :
"Artinya : Beribadah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu". (Pengertian Ihsan tersebut adalah penggalan dari hadits Jibril, yang dituturkan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'Anhu, sebagaimana akan disebutkan).
            Al Islam adalah sebuah rengkuhan kasih sayang Allah SWT dalam bentuk perdamian. Melalui Al Islam ini akan di dapati kedamaian-kedamaian hidup. Setelah kita tahu beberapa asal kata Islam maka bolehlah saya memandang lebih dalam lagi tentang makna Al Islam. Jangan sampai kita salah atau dengan bebas memaknai Islam. Berikut bagaimana Al Islam di maknai :
            Ada sebuah paradigma yang harus di gunakkan untuk memandang Islam. Ada juga sebuah metologi yang tepat untuk menjalankan Islam itu sendiri. Kita harus tahu dengan benar kerja-kerja aplikasi dan implementasi Islam sebagai nilai dalam kehidupan. Untuk mengetahuinya itu maka kita harus belajar pada sumbernya dan belajar pada generasi-generasi awal yang merupakan generasi terbaik. Islam sebagai ad diin harus dipahami kedalam beberapa kedudukan diantaranya :
Islam sebagai petunjuk berhukum/peraturan. Dalam kehidupan, al Islam seharusnya menjadi tempat berhukum, hukum positif yang seharusnya di utamakan untuk di laksanakan. Berbagai sendi kehidupan tak lepas dari pengaturan dan dengan aturan itulah segalanya akan harapannya akan menjadi baik. Teratur lebih baik daripada acak-acakan. Ada penataan dalam tata laksana kehidupan yang diatur oleh Islam. Untuk memahami bagaimana sikap para Rasul dan para sahabatnya memandang Islam sebagai sebuah tata aturan, maka mari kita lihat sedikit tentang bagaimana para generasi terbaik menyikapinya sebagaimana yang Allah firmankan :
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”(QS:24:51)
Sikap tunduk yang seharusnya kita lakukan ketika melihat tata aturan yang di perintahkan dalam Islam maka sikap kita tak lain harus Sami’na Wa Atho’na mendengar dan mentaati yang telah Allah dan RasulNya gariskan dalam sebuah tata aturan yang dinamakan Islam.
            Al Islam turun dari ucapan Allah Swt yang di sampaikan kepada nabinya melalui malaikat dan inilah yang dinamakan wahyu. Kemudian para nabi dan rasulnya mentranformasikan wahyu kedalam suatu tata nilai kehidupan sehari-hari dan sebagai tata aturan yang di integrasikan di berbagi sendi kehidupan. Dengan cara peneladanan dari para nabi maka umat manusia mengikuti pesan dalam wahyu. Para rasul Allah menjadi tempat rujukan ketika manusia hendak melakukan amal-amal ibadah dan amal-amal lain dalam kehidupan, bahkan terkadang para pengikut rasul menjadikan guru sekaligus hakim dan penasihat dalam kehidupan mereka. Lelaki-lelaki dari manusia ada yang dipilih oleh Allah SWT untuk mendapatkan dan menjadi penyampai pesanNya untuk umat manusia. Para lelaki pilihan itu yakni para nabi dan rasul setelah mendapatkan wahyu dari rabbnya maka dalam sela-sela waktu turunnya wahyu yang turun berangsur-angsur, mereka dengan sigap mentrnformasikan nilai pesan dari wahyu dan Allah pun menshibgah rasulNya menjadi manusia-manusia yang memiliki kekokohan keimanan yang istimewa. Kemudian para rasul mempunyai karakter yang telah diwarnai oleh nilai-nilai wahyu dan sifat inilah yang dinamakan Rabbaniyyin. Karakter wahyu ada di dalam diri para rasulNya. Nilai-nilai Injil termaktub dalam diri nabi Isa AS begitupun Nilai-nilai Alqur’an menjadi ahlaknya Nabi Muhammad SAW bahkan ibunda mukminin Aisyah ra menuturkan bahwa Rasulullah adalah Al Quran berjalan.
            Al Islam adalah jalan yang lurus yang akan membawa orang-orang beriman menuju keharibaan Rabbnya. Jalan di mana di sana akan di tapaki untuk mendapatkan keridhaan dari zat yang telah menciptakan mereka, zat yang telah mengkaruniai kehidupan. Al Islam akan menjadi jalan setapak para hamba Allah SWT yang  akan menunjukan mereka menuju mata air jernih peradaban di dunia sekaligus akan jalan menuju telaga terindah di Syurga kelak. Di sinilah ada yang di tuju yaitu hanya Allah SWT yang di jadikan tempat tujuan kehidupan umat manusia. Namun tak semua mahlukNya akan mendapati berjalan di jalan ini melainkan hanya mereka saja yang mendapatkan hidayahNya. Tak semua orang akan sampai dan di sampaikan di tujuan akhir jalan ini melainkan hanya mereka saja yang di rahmati Allah SWT. Akan banyak yang beriman setelah kekafiran di jalan ini namun banyak juga yang sesungguhnya ia terjatuh ke dalam lembah kegelapan menjadi kafir di jalan ini.
            Kehidupan di dunia adalah sebuah ujian yang bertumpu di pundak setiap manusia. Dunia bukan tujuan akhir ia hanya teminal-terminal kecil yang menjadi tempat pemberhentian sementara di dalam perjalanan perjuangan menuju Allah SWT. Al Islam ternyata Allah SWT turunkan menjadi sebuah wahana dan wasilah untuj menyelamatkan manusia agar ia terselamatkan di dalam berjalan mengarungi luasnya samudera kehidupan. Islam akan mengemaskan kehidupan dunia sebagai sebuah proses ujian awal yang akan di tampilkan dalam kebahagiaan kecil sebelum akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih kekal lagi. Terselamatkan dan lulus dalam ujian adalah suatu anugerah yang wajib di syukuri dan di perjuangkan. Apalagi dunia ini merupakan satu-satunya kebun tempat bercocok tanam dan hasil akhirny adalah kehidupan kekal di akhirat. Islam lah yang menjadikan amal hamba di dunia untuk mahar akhirat, artinya untuk sukses meraih kebahagiaan di akhirat maka kehidupan di dunia menjadi bekal. Maka Islam akan mengajarkan umat manusia untuk senantiasa mengelola kehidupannya dengan benar dan berbuah syurga di akhirat. Kemudian syurga adalah sebuah bentuk piala kemenangan dan keselamatan di kehidupan akhirat. Kemenangan dan keselamatan di akhirat sekaligus mengakumulasi semua keselamatan di dunia dan akhirat karena sejatinya orang yang hanya sukses di dunia saja namun ia tak mampu mendapatkan tiket syurga di akhirat karena ia tak di rahmati Allah SWT maka ia telah gagal dan tidak terselamatkan. Namun bagi yang telah sukses dan selamat di akhirat karena rahmat Allah SWT yang di berikan atas jerih perjuangan keimanan dan ketaqwaan maka sejatinya ia mendapatkan kesuksesan dan keselamatan yang hakiki nan sejati.
            Ada kemenangan hakiki di jalan Al Islam ini, maka kemenangan inilah merupakan sebuah gambaran kedudukan Islam dimuka bumi sebagai bentuk ketinggian dan kemuliaan. Jalan yang paling mulia dan selamat sedangkan jalan lain selain Islam akan membawa kecelakaan dan menggambarkan kerendahan semata. Maka puncak ketingian hanya di dapati melalui jalan Islam ini. Al Islam ya’lu wala yu’la alaih tinggi dan tak ada mampu yang mengalahkannya. Islam di mulyakan dan di ridhai karena Islam sesuai dengan Sunatullah, Islam selaras juga dengan gerak keselarasan alam ini yang sesungguhnya semua atas kerja tangan AllahSWT pula. Maka Allah pun meridhai Al Islam karena Al Islam itulah yang Allah jadikan sebagai panduan hidup yang telah Allah SWT persiapkan untuk manusia sebagai khalifah fil ardi.
“...dan Dia tela mencipatakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS. Al Furqan : 2)
Al Islam inilah ukuran yang tepat agar segala urusan di bumi ini tertata baik dan rapi. Semuanya tunduk pada Allah SWT dengan segala bentuk ketundukan dan tugas masing-masing. Islam merupakan sistem yang kompleksitasnya di sediakan untuk panduan hidup yang kompleks pula.
            Kemudian apa yang menjadi sifat dan karakteristik Islam, sehingga Islam begitu memukau dan mampu menggetarkan jagat raya. Ada bahasan penting tentang karakter Islam diantara beberapa sifat dan karakter seperti, bahwa Islam merupakan nikmat yang besar yang di karuniakan Allah untuk semesta alam, Islam merupakan agama umat Rasulullah SAW yang merupakan umat terakhir, Islam telah sesuai dan selaras dengan fitrah alam dan manusia. Kemudian yang cukup penting untuk di pahami mengenai Islam adalah tentang karakternya yang syamil dan mutakamil, sempurna dan paling sempurna nan menyempurnakan.
Beberapa dimensi cakupan kesempurnaannya Islam yaitu ia sempurna dalam dimensi waktu. Sistem yang tak akan lekang oleh waktu. Panduan hidup yang akan selalu bisa di pakai kapan saja. Din yang berlaku dari jaman para nabi hingga umat paling terkhir yang akan tinggal di bumi ini. Bahkan sumbernya yaitu Al Quran tela di jamin akan tetap terjaga sampai hari kiamat. Sumbernya tak akan pernah tercamuri oleh perbuatan tangan-tangan jahil yang hendak mengotorinya sebagaimana kitab-kitab sebelum Al Quran. Islam akan senatiasa menjadi berkah bukan hanya untuk insan-insan beriman yang hidup berdampingan dengan nabi  melainkan untuk manusia hari ini dan esok hari yang tidak lagi berdampingan hidup langsung bersama sang pembawa risalah. Kemudian dimensi yang berikutnya yaitu Islam sempurna dalam dimensi ruang atau tempat. Islam bukan hanya bisa di berlakukan di tanah arab saja di mana tempat ia dulu diturunkan. Islam mampu di jalankan di manapun. Islam untuk orang Asia, Islam untuk mereka yang berada di Eropa, Amerika dan seluruh tempat di semesta ini. Di mana tempat yang di jejaki oleh seorang muslim maka di situlah Islam berada. Allah SWT yang menciptakan alam ini, Allah SWT yang menciptakan berbagai tempat yang ada maka Islam lah yang Dia berikan sebagai pedoman hidup di tempat itu. Kemudian Dimensi yang berikutnya yaitu Islam sempurna untuk dimensi Islam sebagi manhaj/metode/sistem. Islam akan mengatur di turunkan untuk menjadi sistem di berbagai segmen kehidupan. Islam mengatur manusia dari bangun tidur samapai tidur lagi. Ia merupakan sistem yang mengurusi kehidupan pribadi dan sosial. Bolehlah saya akan gambarkan bangunan Islam itu sendiri sebagai sebuah bangunan.
1.      Islam di bangun diatas akidah asas akidah yang mencakup hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan dan  ideologi.
2.      Islam bertiangkan dan bangunan utamanya adalah aspek akhlak dan perilaku terhadap sesama  mahluk dan terhadap Allah Al Khaliq yang semuanya di implementasikan dalam bentuk ibadah berupa ibadah mahdoh seperti shalat, puasa, maupun ibadah ghoiru mahdoh seperti beramal sosial.
3.      Bangunan Islam di kokohkan atau di jaga bangunannya dengan jihad dan dakwah sehingga Islam berkembang dinamis dan terbebas dari ancaman sistem sistem lain yang semuanya syubhat di luar Islam.
 











Gambar Bangunan Islam.
Maka pantaslah seorang pejuang Islam kontemporer Ustadz Hasan Albana berceloteh di dalam usul isyrin, bahkan di asa yang pertama beliau mengatakan :
“Islam adalah menyeluruh, mencakup semua bidang hidup; Islam adalah negara dan watan atau pemerintah dan ummat. Akhlak dan kekuatan atau rahmat dan keadilan. Pengetahuan dan undang-undang atau ilmu dan kehakiman. Kebendaan dan harta atau usaha dan kekayaan. Jihad dan dakwah atau tentera dan fikrah. Akidah yang benar dan ibadat yang sah”
Begitulah sedikitnya lantunan yang keluar dari ucapan beliau ustadz Hasan Albana dalam menggambarkan sistem Islam yang hembusannya mampu menggapai sampai rongga-rongga tersempit di dalam setiap sendi kehidupan.
Islam pula memiliki tabiat yang melekat di dalam jati dirinya yaitu Islam adalah  agama yang bersih dari syirik dan sesuai dengan fitrah membentuk pribadi mukhlis dan hanif/tulus. Agama yang penuh dengan nilai-nilai dan konsepsi membentuk pribadi yang bermutu dan bermanhaj. Agama akhlak atau moral dan hukum membentuk pribadi yang berakhlak dan bijaksana. Agama kebersihan dan kesucian membentuk pribadi yang bersih dan suci. Agama ilmu dan amal membentuk pribadi yang berilmu dan aktif bekerja. Agama ilmu dan pemikiran membentuk pribadi berilmu yang mufakir (pemikir). Agama kerja dan harapan membentuk pekerja yang optimis. Agama yang kuat dan bertanggung jawab membentuk pribadi yang teguh dan dapat dipercaya. Agama yang penuh gengsi dan kasih sayang membentuk pribadi yang berprestasi dan santun. Agama daulah dan ibadah membentuk ahli politik ahli ibadah. Agama pedang dan Qur'an membentuk pribadi mujahid yang berorientasi kepada Rabb. Agama harakah dan minhaj membentuk pribadi mutaharik (aktif bergerak) dan minhaji (berpedoman).
Islam dan Akhlaq
            Akhlak menurut bahasa berarti tabiat dan perangai. Menurut terminologi para ulama,akhlak adalah sesuatu yang merepresentasikan keadaan atau sifat yang tertanam kuat di dalam jiwa yang memunculkan perbuatan dan perilaku dengan sangat mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Menurut definisi tersebut, akhlak mencakup semua sifat baik maupun buruk, namun kita dapati kebanyakan ulama akhlak menggunakan kata akhlak untuk sifat yang baik saja. Menurut mereka, akhlak adalah sifat-sifat baik yang tertanam pada jiwa dan memancarkan perilaku yang baik dalam kehidupan. Abdullah bin Qasim Al Wasyli
Akhlak dalam Islam terdiri di atas empat pilar yang ia tidak dapat tegak kecuali dengannya, yaitu: sabar, menjaga kehormatan diri, keberanian, dan adil. Empat pilar tersebut merupakan sumber bagi semua akhlak utama, sedangkan sumber semua akhlak buruk dan bangunannya juga didasarkan kepada empat pilar, yaitu: kebodohan, kezaliman, nafsu, dan marah. Keempat sifat buruk tersebut tersendikan kepada dua hal, yaitu melampaui batas ketika sedang lemah dan melampaui batas ketika sedang kuat. Memperturutkan nafsu secara berlebihan dalam kelemahan akan melahirkan kehinaan, kebakhilan, kerendahan, cela, ambisi, loba, dan akhlak rendah lainnya. Sedangkan berlebihan dalam keadaan kuat akan melahirkan sifat zalim, marah, dengki, keji, dan ceroboh. Akhlak yang tercela akan menurunkan akhlak yang tercela dan akhlak yang baik akan menurunkan akhlak yang baik pula.
            Islam merupakan akhlaq itu sendiri  atau lebih mudahnya bahwa ahlaq itu merupakan implementasi praktis dan aplikatif nilai Islam dalam kehidupan. Ahlaq di bangun berangkat dari sudut pandang tata cara hubungan seorang insan dengan Allah, RasulNya, dirinya sendiri dan segala ciptaanNya yang lain. Sehingga ini lah yang di tangpakkan kepada dunia tentang Al Islam yaitu perilaku akhlaq yang kemudian cerminan yang di pancarkan Islam secara mendasar pada insan beriman. Bahkan dalam Riwayat Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Aku di utus melainkan untuk menyempurnakan ahlaq yang mulia” (HR. Baihaqi)
Di sinilah akan dilihat bagaimana wajah Islam sesungguhnya dan bentuk dari penerapan Iman itu pula yang secara tampak pada amal perbuatan setelah mengimani dalam hati dan mengucapkan dalam lisan. Ahlak inilah yang merupakan goresan pena indah yang akan kita temukan di dalam Islam. Ahlak pula merupakan lantunan sejuk nan merdu di dalam nyanyian syair Islam. Ia kecerahan yang tampak pada Islam. Ia seputih dan selembut salju yang terhampar dalam mahligai pesona keimanan. Ia cerminan dari nilai keimanan seorang insan. Ia mutiara yang di hasilkan oleh kerang-kerang yang merengkuh pasir-pasir ketaatan di dasar laut kehidupan manusia. Sebuah kemasan marketing Islam di alam pergaulan mahluk-mahlukNya. Ahlak lah gelegar dari dentuman kalimat tauhid laa ilaha ilallah muhammadar rasulullahitu.
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang Tinggi Yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat”.(QS. Shaad :46)
                   
B.     Tentang Muslim

Beranjak dari sebuah terminal pemberangkatan di dalam realita kehidupan. Saya menemukan berbagai fenomena, munculnya beberapa fitnah yang menghadang Islam. Dien yang Agung ini dengan serta merta di pandang rendah, buruk, kejam dan hal-hal lain yang di lekatkan oleh manusia yang tidak bisa bersikap objektif terhadap Islam. Banyak juga insan yang salah kaprah dalam mewajahkan Islam di dalam dirinya.
Siapakah Muslim itu ?
            Hal ini yang harus kita wacanakan dalam benak dan kita pahami agar kita mampu memakai kaca mata objektif untuk memandang seorang muslim. Sejak kapan seorang itu resmi menjadi muslim ? dan apakah yang menjadikannya muslim ?. Realita yang kita temui kebanyakan seorang menjadi muslim karena kedua orangtuanya dan keluarganya adalah muslim namun ini merupakan persempitan ruang untuk mengantarkan seseorang menjadi muslim.
"Setiapanak dilahirkan dalam fitrahnya. Keduanya orang tuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi.." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
            Islam adalah fitrah, maka selayaknya kita memandang bahwa setiap anak yang di lahirkan adalah sesuai fitrah atau ia dilahirkan sebagai Muslim. Klaim ini mungkin di anggap tidak adil bagi saudara kita yang di luar muslim. Namun inilah bentuk keimanan, kita mempercayai konsep ini karena ia dituturkan langsung oleh Allah SWT dan di perjelas melalui kabar yang di sampaikan dan dituturkan oleh Rasulullah SAW, dan ini pula lah konsekuensi dari ucapan dan Perjanjian dalam Syahadatain. Syahminan Zaimi, berbagi dengan kita tentang dialog Alah SWT dengan ruh manusia.  Beliau tuangkan dalam bukunya Perjanjian Ketuhanan, (1981).
Dialog Perjanjian Ruh Kita dengan ALLAH SWT
Perjanjian Kita dengan ALLAH SWT, dalam keimanan Islam sudah terjadi tatkala ruh kita sebelum ditiupkan ke dalam jasmani. Ruh kita sudah pernah berdialog dengan ALLAH SWT dalam suatu perjanjian yang kelak akan dimintai pertanggung jawabannya, sebab janji itu pasti akan ditagih kelak di akhirat. Inilah dialog ruh kita dengan ALLAH SWT:
ALLAH SWT bertanya kepada ruh : ”Bukankah Aku ini Tuhanmu”
Roh menjawab : ”Benar!, Kami telah menyaksikan”
Peristiwa inilah yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai ”Abdullah” perjanjian ”Ketuhanan” antara ALLAH SWT dengan manusia dan sebaliknya. Perjanjian ketuhanan yang kemudian terlukis dalam tiap-tiap jiwa manusia, sebagai ukuran dasar rohaniyah, yang membawa lahir ke alam terang ini sebagai fitrah. Hal ini diungkapkan dalam surat AL-A’raf ayat 172, yang artinya:
”Dan (Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan turunan anak Adam dari tulang punggungnya dan Tuhan mengambil kesaksian dari mereka sendiri, firmanNy: ”Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka (roh manusia menjawab: ”Benar! Kami telah menyaksikan”. Nanti di hari Qiamat agar kamu tidak mengatakan: bahwa, ”kami lalai terhadap hal ini. (QS. Al-A’raf 172).
Ayat tersebut, mengandung pemahaman tentang:
1. Manusia telah diciptakan ALLAH SWT atas fitrah Islam
2. Dalam Jiwa manusia telah disiapkan ALLAH SWT gharizah (naluri) iman
Konsekuensi dari orang yang berjanji adalah memenuhinya oleh karena adanya perjanjian kita dengan ALLAH SWT, adalah pemenuhan akan perjanjian tersebut untuk dimintakan pertanggung jawabnya di akhirat nanti. Bagi setiap perjanjian tentu ada konsekuensinya, yaitu berupa hak dan kewajiban pada kedua belah pihak ( pihak: ALLAH dan Kita) yang mengadakan perjanjian. Hak adalah sesuatu yang harus diterima oleh satu pihak dari pihak lainnya, karena ia telah memberikan suatu kepada pihak lain. Dan kewajiban ialah sesuatu yang harus diberikan atau dikerjakan oleh satu pihak kepada/untuk pihak lainnya, karena ia telah menerima sesuatu dari pihak lain itu.
Hal ini diingatkan kembali ketika kita berada di dunia fana ini, yaitu :
”Dan adalah perjanjian ALLAH itu akan ditanyakan” (QS. Al-Ahzab, 15)
”Orang-orang yang menyempurnakan perjanjian ALLAH dan tidak merusak akan ikatannya” (QS. Ar-Ra’du, 20)
Sekarang, jelaslah bagi kita bahwa kita memang sudah pernah mengadakan perjanjian dengan Tuhan, dan perjanjian ini membekas dalam jiwa kita sebagai fitrah bertuhan yang Esa (ALLAH SWT) atau beragama. Perjanjian ini diadakan sewaktu roh kita dalam arwah, belum ditiupkan ke dalam jasmaninya.
Dari pemaparan Syahminan Zaimi tersebut, maka wajarlah jika kita berkesimpulan bahwa setiap insan yang dilahirkan ke bumi dalam keadaan beriman. Kemudian ketika kita akan mengamati lebih dalam lagi siapakah muslim itu. Maka izinkan saya ajak anda kembali menengok arti Islam sebagai dien yang telah saya paparkan sebelumnya. Untuk mempermudah memahaminya. Saya akan ilustrasikan kedalam sebuah gambaran tentang tingkatan dien Al Islam.


Disini tergambarkan derajat dien Islam. Bahwa Islam tingkatan terendah, kemudian Iman lebih tinggi dari Islam dan Ihsan merupakan puncak dalam tingkatan dien Islam. Agar tidak keliru untuk memahaminya ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan. Jika kata Iman dan Islam di sebut salah satunya secara terpisah di dalam ayat atau hadits maka maknanya sama saja. Makna Iman termasuk pula makna Islam dan makna Islam termasuk pula makna Iman. Namun jika disebut secara bersamaan maka makna keduanya berbeda. Makna Islam adalah amalan lahiriyah (badani) sedang makna Iman adalah amalan batiniyah (hati).
            Seseorang dikatakan Muslim adalah apabila seseorang menerima Islam sebagai agamannya. Jika ia melepas ikatan Islam dalam dirinya maka sejak itu pulaia kafir dan keluar dari Islam. Namun siapapun diantara manusia, entah yang berkulit hitam maupun putih. Entah ia berada di timur atau di barat, diutara atau di selatan, melayu atau arab ketika ia mengucapkan dua kalimat Syahadat dan menerima segala konsekuensinya maka sejak itu pula lah ia menjadi muslim. Ia tunduk tunduk terhadap Allah dan rasulNya. Kemudian ketika kita membentangkan kufur secara definifnya maka kufr adalah penolakan terhadap nilai-nilai syahadatain. Perbedaan Muslim dan Kufr bisa kkita lihat secara jelas dalam firman Allah SWT :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al Maidah : 44)
            Mari kita refleksikan kembali jika memaknai muslim sebagai salah satu subjek/pelaku ajaran Islam. Kemudian dien Islam terbagi berdasarkan tingkatannya. Ternyata pelakunya pun bertingkat-tingkat namun keluasannya berkebalikan.
            Sebuah uraian untuk menjelaskan gambarannya. Setiap muslim ia belum tentu akan mencapai tingkatan beriman, kemudian seorang yang beriman pun belum tentu akan mencapai derajat muhsin. Namun seorang muhsin ia pasti beriman dan berIslam dan seorang Beriman sudah pasti ia pun seorang Muslim. Tingkatan tersebut bukan bermaksud unuk menjadikan golongan di tubuh pelaku dien Islam namun hanya untuk meinterpretasikan nilai kualitas seseoarang yang menerima Islam sebagai diennya. Maka kata Muslim di pakai sebagai kata yang lebih umum dan agar mcakup lebih luas nilai-nilai peran seorang yang beragama Islam. Berikutnya akan saya tuturkan sebuah gambaran idealis seorang Muslim dan seharusnya beginilah ia menampilkan wajah Islam di dalam dirinya. Keberislaman seseorang harus senantiasa di tampakkan, apa lagi di era keterbukaan seperti sekarang ini. Beginilah gelegar kata yang terploklamirkan dalam diri seorang Muslim “Isyhadu bi ana Muslimin”, saksikanlah bahwa diriku seorang Muslim.
            Seorang Muslim senantiasa menundukkan wajahnya di hadapan Allah dan Rasulnya, dalam arti Muslim adalah yang taat, tunduk dan patuh akan perintah Allah SWT dan RasulNya. Ia senantiasa bersearah diri kepada Allah SWT. Ia senantiasa mensucikan dan membersihkan diri secara lahir dan batin. Ia senantiasa mengupayakan keselamatan di dunia dan berharap keselamatan di akhirat. Senantiasa membawa nilai-nilai perdamaian ke seantero berbagai pojok di bumi Allah. Seorang Muslim senantiasa menghujamkan di dalam dadanya dua kalimat syahadat dan setia dan komitmen atas segala konsekuensinya. Ia senantiasa mendirikan Shalat, dan menjalankan pula nilai-nilai shalat dalam segmen hidupnya diluar shalat. Ia senantiasa ikhlas menunaikan zakat dari zakat fitrah sampai zakat mal berbagi secara kelebihan ekonomi kepada saudaranya yang membutuhkan. Seorang Muslim senantiasa menjalankan Shaum/Puasa di bulan ramadhan sebagai bentuk tarbiyah bagaimana memanage kesehatan tubuh dan hawa nafsu dalam dirinya. Seorang muslim senantiasa melaksanakan haji ke Baitullah bagi yang telah di mampukan, sebuah simbol persatuan umat muslim seluruh dunia, berkunjung ke tempat yang Allah SWT jaga kesuciannya, bertandang ke pusat kiblat Shalat umat Muslim sedunia serta menjadikan perjalanannya sebagai perjalanan spiritual yang akan mencerahkan kehidupannya.
            Seorang Muslim senantiasa menampilkan wajah keberimanannya. Bahkan ia akan memegang erat-erat keberimananya sampai digigit oleh gigi gerahamnya. Keteguhan mengimani Allah SWT dan menghambakan diri sepenuhnya. Tanpa ada yang namanya keselewengan keimanan berupa kesyirikan-kesyirikan dari yang kecil sampai yang besar. Seorang Muslim senantiasa beriman kepada para malaikatNya. Keberimanan terhadap malaikat ini  harapannya dapat menumbuhkan sebuah karakter agar seorang muslim tidak seenaknya dan sembarangan berselancar di lautan kehidupan di dunia. Muslim yang baik senantiasa beriman pula kepada kitabullah yang di turunkan sebagai pedoman hidup. Ia senantiasa mencintai Al Qur’an, membacanya, menelaah makna dan tafsiranya, mempatrikan dalam diri berupa nilai-nilai implementasinya. Seorang muslim senantiasa beriman kepada Rasulullah dan para Nabi, meyakini apa yang di bawa dalam risalahnya. Mengikuti dan meneladani sang qudwah sebagai cetak biru manusia dalam menjalankan dien secara baik dan benar. Seorang muslim juga senantiasa beriman kepada hari kiamat. Mempercayai dan mempersiapkan amalan terbaik dan menyikapinya dengan positif atas kebenaran kabar yaumul akhir. Seorang muslim wajib pula senantiasa beriman kepada Qadha dan Qadhar Allah SWT baik yang buruk atau pun yang baiknya. Semuanya senantiasa di terima dengan ikhlas. Begitulah gambaran Muslim dari bidikan keberimanannya.
            Seorang Muslim hendaknya mempersiapkan diri untuk terus meningkatkan kapasitas diri agar menjadi yang terbaik di setiap bidang kehidupan. Berusaha mengoptimalkan setiap potensi yang ada menggalidan terus mengembangkan dirinya. Berusaha meniru dan meneladani generasi terbaik untuk menjadi yang terbaik pula dalam hal keberiaman atau pun dalam hal-hal lain. Seorang Muslim senantiasa memunculkan karakter Salimul Aqidahmenjaga agar ia tetap dalam aqidah yang selamat. Ia senantiasa menghadirkan karakter Shahihul Ibadah/ beribadah dengan kuat dan gigih, menjalankan syariat Islam berupa amalan-amalan ibadah yang benar namun tetap memperhatikan hal-hal lain seperti fiqh dan jangan sampai pula melahirkan amaln ibadah yang kemudian akan masuk kedalam kategori Bid’ah. Seorang muslim senantiasa mengolah karakter matinul Khuluq/ akhlaq yang kokoh sesuai ajaran agama dan di contohkan oleh Rasulullah SAW. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw ditutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman yang artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung (QS 68:4).Seorang Muslimsenantiasa mengolah jiwa dan raganya untuk membentuk qowiyyul jismi atau kekuatan jasmani Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Mu’min yang kuat lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah (HR. Muslim).  seorang muslim yang baik Senantiasa mengasah kemampuan dan kafasitas pikir dan intelektualnya Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas) dan Al-Qur’an banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berpikir, misalnya firman Allah yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: “pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS 2:219). Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktivitas berpikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Bisa kita bayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu. Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS 39:9). Setiap muslim pula senantiasa. Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatul linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).
            Setiap muslim yang baik senantiasa  Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya. Allah Swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu”. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memanaj waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Saw adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
            Muslim yang baik pula senantiasa teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya. Dengan kata lain, suatu urusan dikerjakan secara profesional, sehingga apapun yang dikerjakannya, profesionalisme selalu mendapat perhatian darinya. Bersungguh-sungguh, bersemangat dan berkorban, adanya kontinyuitas dan berbasih ilmu pengetahuan merupakan diantara yang mendapat perhatian secara serius dalam menunaikan tugas-tugasnya.
            Pribadi muslim senantiasa memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Kareitu pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya raya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al-Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi. Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah Swt, karena rizki yang telah Allah sediakan harus diambil dan mengambilnya memerlukan skill atau ketrampilan.
            Secara pribadi maupun komunal, Muslim yang baik senantiasa Bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi) merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Maka jangan sampai seorang muslim adanya tidak menggenapkan dan tidak adanya tidak mengganjilkan. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan inilah, Rasulullah saw bersabda yang artinya: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Qudhy dari Jabir).
Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, sesuatu yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing.



           



C.     Tentang Negara
Masih berjalan bersama rengkuhan kasih sayang Allah SWT. Tibalah di bagian ini,  bercengkrama mengenai salah satu pemberian Allah SWT kepada umat manusia yaitu berupa nama besar yang di namakan “negara”. Definisi negara jika kita membuka dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), akan kita dapati bahwa negara adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Negara adalah kelompok yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.
Negara bisa kita pandang sebagai subjek sekaligus objek. Misalkan di pandang sebagai objek karena elemen dari negara itu tak lepas dari hal yang bersifat kebendaan misalnya tempat atau daerah. Karena adanya tempat merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam negara. Dikatakan subjek karena negara memiliki kewenangan sebagai pihak yang mempunyai wewenang bahkan sangat besar sekali wewenangnya dalam keberlangsungan kehidupan bernegara. Dalam proses pelaksanaan tugas dan fungsinya negara mempunyai sistem kerja yang kemudian ini akan kita sebut sist pemerntahan.
Sebelum lebih jauh berbicara negara. Saya akan bercerita tentang unsur –unsur sebagai syarat mendasar sesuatu bisa dikatakan negara, seperti :
1. Wilayah
Bagaimanapun unsur negara ini sangat krusial, karena sebuah negara memerlukan sebuah wilayah tempat negara tersebut berdiri. Inilah dimensi ruang yang di butuhkan dalam unsur negara dan ini pula lah hal fisik mendasar.
2. Rakyat
Ini pun komponen yang jelas-jelas penting. Karena negara sendiri ada ta lain hanyalah untuk melakukan pengelolaan terhadap sumber daya manusia (rakyat) sekaligus memanfaatkan sumber daya alam juga karena salah satu misi manusia di utus adalah sebagai pengganti Allah SWT (khalifah) di bumi untuk menjaga dan memanfaatkan sebaik mungkin.
3. Pemerintaahan yang memiliki kekuasaan / kedaulatan
Sistem penggerak pelaksaanaan tata kerja negara ini yang saya sebut sistem pemerintahan atau kekuasaan. Unsur ini sangat penting, karena tanpa adanya pemerintaahan yang memiliki kekuasaan dan ditaati oleh rakyatnya sebuah area atau wilayah yang berpenduduk (rakyat) tidak ubahnya seperti sebuah gerombolan orang yang tidak cukup untuk disebut sebagai negara.Unsur-unsur negara diatas setidaknya mewakili dari pengertian negara secara umum.
4.      Ideologi yang kokoh
Bagi saya unsur ini pun penting adanya. Ideologi ialah ruh dalam negara, dengan ideologi negara akan semakin kokoh dan kuat untuk menjangkau kerjanya mengelola yang ada di dalam negara. Bisa jadi kalau ini tak ada negara hanya akan di katakan sebagai negara boneka. Jangan sampai secara hakiki negara itu kosong dan hampa tak mempunyai landasan dan cara memandang kehidupan bernegara.
Meneropong Negara via Islam
            Keragaman berbagai golongan manusia  dalam tata masyarakat negara atau masyarakat dunia telah menjadi ketetapan dan Sunnah Allah SWT, ada sebagian dari manusia yang di berikan kelebihan daan dengan kelebihan itu ia dapat melakukan sesuatu lebih dari yang orang lain perbuat sehingga kelebihan ini merupakan anugerah sekaligus dan amanat dan di jalankan untuk mengelolanya. Menglola sumberdaya, mengelola berbagai potensi serta sumberdaya. Negara di beri kekuasaan bukan oleh manusia melainkan merupakan amanah kekuasaan yang Allah SWT berikan langsung kepada manusia yang berhimpun dalam sebuah negara dan konsep ini biarkanlah menyelisihi konsep teokrasi yang mengatakan bahwa kekuasaan pada negara itu di berikan dari khalayak ramai yang tertuang dalam perjanjian masyarakat. Alangkah bijaknya bila kita berkiblat dengan menyatakan bahwa kekuasaan dan kedaulatan pada hakikatnya adalah hanya milik Allah SWT yang akan melahirkan sebuah tanggung jawab yang kelak akan di laporkan dan di pertanungjawabkan oleh pemegang kekuasaan secara individu maupun komunal kepada Allah SWT. Adapun proses musyawarah diantara masyarakat untuk duduk bersama menguraikan secara praktis amanah pengelolaan keuasaan, ini hanya sebuah metode yang sebenarnya ini pun perintah Allah SWT kepada manusia untuk bermusyawarah menentukan langkah-langkah yang perlu di ambi;l dalam kekuasaan selama tidak melenceng terbelok dari ke agungan sumber Al Quran dan Hadits.
                                                                                            Tentang sebuah tujuan mulia yang di lancarkan oleh negara mari sejenak kita cermati bahwa Allah SWT mengatakan kepada nabi Daud a.s yang sudah dilantik menjadi pemegang kekuasaan dalam negara supaya berlaku adil dalam memberikan hukum kepada manusia, dan jangan memperturutkan kehendak hawa nafsu.  AlQur’an mengajarkan tentang kekuasaan yang ada dalam tangan pemegang kekuatan negara jangan sampai di selewengkan dan ketika menyelewen itu merupakan wujud khianat.
            Sebenarnya saya tak mau menyibukan memaparkan tentang kompleksitas negara. Namun saya perlu sedikit berbincang renyah tentang hubungan agama dan negara. Begitu banyak pendapat tentang ini, masing-masing paradigma tetap kita hargai namun ada paradigma yang bagi saya ini harus di jauhi dari seorang muslim ketika memandang integralistik negara dan agama. Ada yang memandang bahwa hubungan antara negara dan agama adalah sebagai suatu humbungan simbiotik yang berarti antara negara dan agama keduanya saling membutuhkan. Namun eksistensinya berbeda antara agama dan negara. Di sisi lan biasanya kaum sekuler menggunakan paradigma sekularistik yaitu ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidang masing-masing, sehingga keberadaanya harus dipisahkan. Pandangan sekularistik ini bagi saya akan mereduksi Islam yang syumul dan ketika saya kembalikan ke pembicaraan sebelumnya mengenai Islam maka hal ini akan menimbulkan berbagai kecacatan dalam pelaksanaan Islam sebagai dien. Bahkan ini ynag menjadi salah satu penyebab runtuhnya kepemimpinan umat Islam yang satu yaitu ketika runtuhnya khilafah Turki Ustmani pada tahun 1924 Masehi. Islam menamilkan wajahnya yag tidak menyeluruh dan tidak lagi di laksanakan secara kaffah oleh pemeluknya. Sebagaimana yang sekarang terjadi di negara-negara muslim termasuk di Indonesia. Oleh karena itu pandangan yang bijak adalah pandangan yang mengejawantahkan bahwa Islam tidak di pisahkan dari negara.
             Jika negara akan mengelola rakyat maka agama adalah petunjuk bagi umat. Rakyat atau pun umat sebenarnya sama, merupakan sama-sama unsur yang menjadi rangka subjek sekaligus objek di dalam agama dan negara. Di sini kita berbicara tentang umat saja. Islam telah menjamin kesejahteraan dan keselamatan untuk umatnya baik di dunia atau pun di akhirat. Di dalam Islam penegakan agama dilakukan dengan dakwah dan Jihad. Dakwah adalah proses menyeru umat manusia menuju jalan Allah SWT (Islam). Di dalam dakwah di perlukan aktor dan fasilitas yang menunjang. Maka di sini saya hadirkan bahwa negara merupakan salah satu fasilitas dalam dkwah Islam. Untuk mewujudkan tegaknya syariat kita tak bisa menutup mata. Selain keimanan yang mengakar maka secara dzahir kita pun butuh kekuatan besar. Seperti yang dilakukan Khaalifah Abu Bakar ra, beliau sebagai pemimpin baru melihat realita banyak dari kaum muslimin pasca meninggalnya Rasulullah SAW tak mau untuk mengeluarkan zakat. Hingga akhirnya Abu Bakar tak segan memeranginya. Di kisah yang lain Sahabat Umar Bin Khattab ra merapihkan Shaf shalat para jamaah dengan menggunakan pedang. Namun bukan bermaksud menampilkan Islam adalah agama yang kejam. Ini menunjukan bahwa perintah Allah SWT harus sekuat tenaga di tegakkan pelaksanaannya.
            Implementasi ketaatan kepada Allah SWT kemudian di himpun kedalam kekuatan negara agar Islam tegak. Di dalam ranah politik yang berkuasa biasanya adalah yang punya kekuatan besar atau para petingg politisi karena secara langsung ia mewarisi sebuah kekuatan untuk memerintah walau tak sepenuhnya otoriter. Dengan kekuatan itu pula lah dien Islam akan di bangun dan dikokohkan. Kekuatan yang di bangun dalam diri dan dari dimensi yang paling mendasar dan dimensi yang paling sempit dan dekat. Kemudian terkembangbersama-sama dan jika harmoninya terjaga maka panen buah dari pengokohan itu akan di rasakan berupa penaungan untuk rakyat sehingga terciptalah getaran kesejahteraan, damai dan tentram. Rakyat akan berkontribusi untuk kemajuan negara dan umat muslim menjalankan dien Islam keuduanya terbungkus dalam satu paket ketaatan kepada Allah SWT.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More