Tah
di dinya, ku andika adegkeun eta dayeuh laju ngaranan Bogor, sabab
bogor teh hartina tunggul kawung (Di tempat itu, dirikanlah olehmu
sebuah kota lalu beri nama Bogor sebab bogor itu artinya pokok enau)
Ari tunggul kawung emang ge euweuh hartina euweuh soteh ceuk nu teu ngarti
(Pokok enau itu memang tak ada artinya terutama,bagi mereka yang tidak paham)
(Pokok enau itu memang tak ada artinya terutama,bagi mereka yang tidak paham)
Ari sababna, ngaran mudu Bogor
sabab bogor mah dijieun suluh teu daek hurung teu melepes tapi ngelun haseupna teu mahi dipake muput
(Sebabnya harus bernama Bogor? sebab bogor itu dibuat kayu bakar tak mau menyala tapi tidak padam, terus membara asapnya tak cukup untuk “muput”)
sabab bogor mah dijieun suluh teu daek hurung teu melepes tapi ngelun haseupna teu mahi dipake muput
(Sebabnya harus bernama Bogor? sebab bogor itu dibuat kayu bakar tak mau menyala tapi tidak padam, terus membara asapnya tak cukup untuk “muput”)
Tapi amun dijieun tetengger sanggup nungkulan windu kuat milangan mang
(Tapi kalau dijadikan penyangga rumah mampu melampaui waktu sanggup melintasi zaman)
Amun kadupak matak borok nu ngadupakn moal geuwat cageur tah inyana
(Kalau tersenggol bisa membuat koreng yang menyenggolnya membuat koreng yang lama sembuhnya)
(Kalau tersenggol bisa membuat koreng yang menyenggolnya membuat koreng yang lama sembuhnya)
Amun katajong? mantak bohak nu najongna moal geuwat waras tah cokorna
(Kalau tertendang? bisa melukai yang nendangnya itu kaki akan lama sembuhnya)
(Kalau tertendang? bisa melukai yang nendangnya itu kaki akan lama sembuhnya)
Tapi, amun dijieun kekesed? sing nyaraho isukan jaga pagetobakal harudang pating kodongkang nu ngawarah si calutak
(Tapi, kalau dibuat keset? Semuanya harus tahu besok atau lusa bakal bangkit berkeliaran menasehati yang tidak sopan)
(Tapi, kalau dibuat keset? Semuanya harus tahu besok atau lusa bakal bangkit berkeliaran menasehati yang tidak sopan)
Tah kitu! ngaranan ku andika eta dayeuh Dayeuh Bogor!
(Begitulah beri nama olehmu itu kota Kota Bogor)
(Begitulah beri nama olehmu itu kota Kota Bogor)
[Pantun Pa Cilong, "Ngadegna Dayeuh Pajajaran"]
Pantun di atas menjadi dasar yang paling
kuat tentang kenapa nama kota itu dinamakan “Bogor”. Seperti diketahui,
sampai saat ini ada empat pendapat tentang asal nama Bogor :
1. Berasal dari salah ucap orang Sunda untuk “Buitenzorg” yaitu nama resmi Bogor pada masa penjajahan Belanda.
2. Berasal dari “Baghar atau baqar” yang berarti sapi karena di dalam Kebun Raya ada sebuah patung sapi.
3. Berasal dari kata “Bokor” yaitu sejenis bakul logam tanpa alasan yang jelas.
4. Asli bernama Bogor yang artinya “tunggul kawung” (enau atau aren).
2. Berasal dari “Baghar atau baqar” yang berarti sapi karena di dalam Kebun Raya ada sebuah patung sapi.
3. Berasal dari kata “Bokor” yaitu sejenis bakul logam tanpa alasan yang jelas.
4. Asli bernama Bogor yang artinya “tunggul kawung” (enau atau aren).

Pendapat bahwa Bogor berasal dari
“buitenzorg” adalah dugaan intelek yang mengira lidah orang Sunda
sedemikian kakunya dengan mengambil perumpamaan melesetnya “Batavia”
menjadi “Batawi”. Akan tetapi bila kita perhatikan bagaimana orang Sunda
mengucapkan “sikenhes” untuk “ziekenhuis” (rumah sakit) atau “bes”
untuk “buis” (pipa) atau “boreh” untuk “boreg” (jaminan), maka
berdasarkan gejala bahasa tersebut, seharusnya orang Sunda melafalkan
“buitenzorg” menjadi “betensoreh”. Jadi dugaan “buitenzorg” menjadi
Bogor terlalu dikira-kira.
Pendapat kedua (“baghar atau baqar”)
berdasarkan kenyataan adanya pengaruh bahasa Arab di daerah sekitar
Pekojan. Orang Sunda akrab dengan bahasa Arab lewat agama Islam, akan
tetapi belum pernah ada bunyi BA dari bahasa Arab menjadi BO. Selain
itu, dugaannya mengandung kelemahan dari segi urutan waktu. Kata Bogor
telah ada sebelum Kebun Raya dibuat, sedangkan arca sapi itu berasal
dari kolam kuno Kotabaru yang dipindahkan ke dalam Kebun Raya oleh Dr.
Frideriech dalam pertengahan abad 19.
Pendapat ketiga (asal kata “bokor”) juga
mengandung kelemahan karena bokor itu sendiri adalah kata Sunda asli
yang keasliannya cukup terjamin. Meskipun demikian, perubahan bunyi “K”
menjadi “G” tanpa menimbulkan perubahan arti dapat ditemui pada kata
“kumasep” dan “angkeuhan” yang sering diucapkan menjadi “gumasep”
(merasa cakep/centil) dan “anggeuhan”(tempat bersandar atau bernaung).
Jadi bisa saja Bogor memang berasal dari Bokor. Akan tetapi, tak ada
seorangpun yang biasa mengartikan “Bogor” sama dengan “bokor”.
Pendapat keempat kita temukan dalam
pantun Bogor yang sudah disebutkan di awal tulisan. Dalam lakon itu
dikemukakan bahwa kata “bogor” berarti “tunggul kawung”. Keadaan yang
sama dapat ditemui pada nama tempat “Tunggilis” yang terletak di tepi
jalan antara Cileungsi dengan Jonggol. Kata “tunggilis” berarti tunggul
atau pokok pinang yang secara kiasan diartikan menyendiri atau hidup
sebatang kara.
Di Jawa Barat banyak tempat bernama
Bogor, seperti yang bisa ditemukan di Sumedang dan Garut. Demikian pula
di Jawa Tengah, sebagaimana dicatat Prof. Veth dalam buku Java. Dengan
demikian memang agak sulit menerima teori “buitenzorg”,”baghar” dan
“bokor”.
Bogor selain berarti tunggul enau, juga
berarti daging pohon kawung yang biasa dijadikan sagu (di daerah
Bekasi). Dalam bahasa Jawa “Bogor” berati pohon enau dan kata kerja
“dibogor” berarti disadap. Dalam bahasa Jawa Kuno, “pabogoran” berarti
kebun enau. Dalam bahasa Sunda umum, menurut Coolsma, “Bogor” berarti
“droogetapte kawoeng”(pohon enau yang telah habis disadap) atau
“bladerlooze en taklooze boom” (pohon yang tak berdaun dan tak
bercabang). Jadi sama dengan pengertian kata “pugur” atau “pogor”.
Akan tetapi dalam bahasa Sunda “muguran”
dengan “mogoran” berbeda arti. Yang pertama dikenakan kepada pohon yang
mulai berjatuhan daunnya karena menua, yang kedua berarti bermalam di
rumah wanita dalam makna yang kurang susila. Pendapat desas-desus bahwa
Bogor itu berarti “pamogoran” bisa dianggap terlalu iseng.
Nama Bogor dapat ditemui pada sebuah
dokumen tertanggal 7 April 1752. Dalam dokumen tersebut tercantum nama
Ngabei Raksacandra sebagai “hoofd van de negorij Bogor” (kepala kampung
Bogor). Dalam tahun tersebut ibukota Kabupaten Bogor masih berkedudukan
di Tanah Baru. Dua tahun kemudian, Bupati Demang Wiranata mengajukan
permohonan kepada Gubernur Jacob Mossel agar diizinkan mendirikan rumah
tempat tinggal di Sukahati di dekat “Buitenzorg”. Kelak karena di depan
rumah Bupati Bogor tersebut terdapat sebuah kolam besar (empang), maka
nama “Sukahati” diganti menjadi “Empang”.
Pada tahun 1752 tersebut, di Kota Bogor
belum ada orang asing, kecuali Belanda. Kebun Raya sendiri baru
didirikan tahun 1817 sehingga teori “arca sapi” tidak dapat diterima
sebagai asal-usul nama Bogor. Letak Kampung Bogor yang awal itu di dalam
Kebun Raya. Ada di lokasi tanaman kaktus sekarang. Adapun pasar yang
didirikan di kampung tersebut oleh penduduk disebut Pasar Bogor. Maka,
tak pelak, papan nama “Pasar Baru Bogor” yang ada sekarang sebenarnya
agak mengganggu rangkaian historis ini.
Asal dan arti nama Pakuan
Hampir secara umum penduduk Bogor
mempunyai keyakinan bahwa Kota Bogor mempunyai hubungan lokatif dengan
Kota Pakuan, ibukota Pajajaran. Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam
berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari
sumber-seumber tersebut berdasarkan urutan waktu:
1. Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam
naskah berhasa Sunda kuno ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran
didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
2. K.F. Holle (1869). Dalam tulisan
berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle
menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku,
beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan
pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan
kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku
yang berjajar (“op rijen staande pakoe bomen”).
3. G.P. Rouffaer (1919) dalam
Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan
mengandung pengertian “paku”, akan tetapi harus diartikan “paku jagat”
(spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar
Paku Buwono dan Paku Alam. “Pakuan” menurut Fouffaer setara dengan
“Maharaja”. Kata “Pajajaran” diartikan sebagai “berdiri sejajar” atau
“imbangan” (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar
atau seimbang dengan Majapahit.
Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan
arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa
Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti “Maharaja yang berdiri
sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit”. Ia sependapat dengan
Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun
1433.
4. R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam
tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia
menjelaskan bahwa kata “Pakuan” mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno
“pakwwan” yang kemudian dieja “pakwan” (satu “w”, ini tertulis pada
Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan
“pakuan”. Kata “pakwan” berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan
Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti “istana yang
berjajar”(aanrijen staande hoven).
5. H. Ten Dam (1957). Sebagai Insinyur
Pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa
Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam
tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar
Pajajaran), pengertian “Pakuan” ada hubungannya dengan “lingga”
(tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai
tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan
disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya
masih mempunyai pengertian “paku”.
Ia berpendapat bahwa “pakuan” bukanlah
nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibukota (hoffstad) yang
harus dibedakan dari keraton. Kata “pajajaran” ditinjaunya berdasarkan
keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang
memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak
antara Sungai Besar dengan Sungai Tanggerang (disebut juga Ciliwung dan
Cisadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama “Pajajaran” muncul
karena untuk beberapa kilometer Ciliwung dan Cisadane mengalir sejajar.
Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di
Pajajaran atau “Dayeuh Pajajaran”.
Demikianlah tafsiran nama Pakuan
Pajajaran menurut lima sumber. Toh, nama resmi yang pernah digunakan
dalam sumber sejarah ada tiga, yaitu :
1. Pakuan Pajajaran (lengkap)
2. Pakuan (tanpa Pajajaran).
3. Pajajaran (tanpa Pakuan).
2. Pakuan (tanpa Pajajaran).
3. Pajajaran (tanpa Pakuan).
Ketiga sebutan itu dapat ditemukan dalam
Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2), sedangkan nomor 3 bisa dijumpai
pada Prasasti Kabantenan di Bekasi.
Lantas, apa arti kata itu menurut orang Pajajaran sendiri?
Lantas, apa arti kata itu menurut orang Pajajaran sendiri?
Dalam naskah Carita Parahiyangan ada
kalimat berbunyi “Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman
Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu
mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan
Sanghiyang Sri Ratu Dewata” (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat
tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di
Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar
lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut “pakuan” itu adalah “kadaton”
yang bernama Sri Bima dan seterunya. “Pakuan” adalah tempat tinggal
untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran
Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita
Parahiyangan, yaitu “istana yang berjajar”. Tafsiran tersebut lebih
mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi
terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima (5)
bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana,
Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam
peristilahan klasik “panca persada” (lima keraton). Suradipati adalah
nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton
lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di
Jayakarta pada masa silam.
Karena nama yang panjang itulah mungkin
orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau
Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya
menjadi nama negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan
Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan nama
daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut
Yogya.
Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibukota )
benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan
Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu
bernama “Dayo” (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari
perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama “Dayo”
didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas,
orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata “dayeuh” (bukan “pakuan”) bila
bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata
“dayeuh”, sedangkan dalam kesusastraan digunakan “pakuan” untuk
menyebut ibukota kerajaan.
Untuk praktisnya, dalam tulisan berikut
digunakan “Pakuan” untuk nama ibukota dan “Pajajaran” untuk nama negara,
seperti kebiasaan masyarakat Jawa Barat sekarang ini.
A. Berita-berita VOC
Laporan tertulis pertama mengenai lokasi
Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC
(“Verenigde Oost Indische Compagnie”/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur)
yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun
memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC (“East India
Company”), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut
Kumpeni Inggris.
Setelah mencapai persetujuan dengan
Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten
(1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua
belah pihak.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
lokasi “bekas istana” Kerajaan Pajajaran, VOC mengirimkan tiga tim
ekspedisi yang masing-masing dipimpin oleh:
1. Scipio (1687).
2. Adolf Winkler (1690).
3. Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)
2. Adolf Winkler (1690).
3. Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)
1. Laporan Scipio
Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:
- Catatan perjalanan antara Parung
Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira
lokasi Pabrik “Unitex” sekarang. Catatannya adalah sbb.: “Jalan dan
lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan
di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni”.
- Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat “Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit”. Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.
Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan “kesan wajah” kerajaan hanyalah “Situs Batutulis”.
- Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat “Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit”. Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.
Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan “kesan wajah” kerajaan hanyalah “Situs Batutulis”.
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh
Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam
laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa
menurut kepercayaan penduduk, “dat hetselve paleijs en specialijck de
verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort”
(bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan
untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta
dirawat oleh sejumlah besar harimau).
Rupanya laporan penduduk Parung Angsana
ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau
di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs
Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan
khayalan adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan
harimau.
2. Laporan Adolf Winkler (1690).
Laporan Scipio menggugah para pimpinan
Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi
dipimpin oleh Kapiten Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang
kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur.
Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut :
Seperti Scipio, Winkler bertolak dari
Kedung Halang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia
melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut “twee lanen”. Hal ini
tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar
dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya
mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini
sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi “parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak (“de diepe dwarsgragt van Pakowang”) yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.
Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi “parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak (“de diepe dwarsgragt van Pakowang”) yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.
Bila kembali ke catatan Scipio yang
mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu
bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat
disimpulkan bahwa kompleks “Unitex” itu pada jaman Pajajaran merupakan
“Kebun Kerajaan”. Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti “tanam,
tanaman atau kebun”. Tajur Agung sama artinya dengan “Kebon Gede atau
Kebun Raya”. Sebagai kebun kerajaan, Tajur Agung menjadi tempat
bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada
bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.
a. Dari Tajur Agung Winkler menuju ke
daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck
dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat
pabrik paku “Tulus Rejo” sekarang). Di situlah letak Kampung Lawang
Gintung pertama sebelum pindah ke “Sekip” dan kemudian lokasi sekarang
(bernama tetap Lawang Gintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada
pada penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks perumahan LIPI).
Dulu di sana ada pohon Gintung.
b. Di Batutulis Winkler menemukan lantai
atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para
pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (“het conincklijke huijs
soude daerontrent gestaen hebben”). Setelah diukur, lantai itu
membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh (7) batang pohon
beringin.
c. Di dekat jalan tersebut Winkler
menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu
itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari
batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca (“Purwa Galih”),
maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu
bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah
dihubungkan oleh “Gang Amil”. Lahan di bagian utara Gang Amil ini
bersambung dengan Bale Kambang (rumah terapung). Bale kambang ini adalah
untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah
seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.
Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton
Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi
barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan
perumahan (sisi timur) dan “benteng batu” yang ditemukan Scipio sebelum
sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah
utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat
gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.
d. Dari Gang Amil, Winkler memasuki
tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa “Istana Pakuan” itu
dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan
sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya
berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).
Yang penting adalah untuk kedua batu itu
Winkler menggunakan kata “stond” (berdiri). Jadi setelah terlantar
selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh
pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada
posisi semula.
e. Dari tempat prasasti, Winkler menuju
ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama
Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan
Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung.
Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang
(1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk
pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat
kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687
mengetahui hubungan antara “Kabuyutan” Batutulis dengan kerajaan
Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, “pohon campaka warna”
(sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.
3. Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709).
Abraham adalah putera Joan van Riebeeck
pendiri Capetown di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan
sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi Kumpeni. Dua
kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal.
Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong
dengan tandu.
Rute perjalanan tahun 1703: Benteng –
Cililitan – Tanjung – Seringsing – Pondok Cina – Depok – Pondok Pucug
(Citayam) – Bojong Manggis (dekat Bojong Gede) – Kedung Halang – Parung
Angsana (Tanah Baru).
Rute perjalanan tahun 1704: Benteng –
Tanah Abang – Karet – Ragunan – Seringsing – Pondok Cina dan seterusnya
sama dengan rute 1703.
Rute perjalanan tahun 1709: Benteng –
Tanah Abang – Karet – Seringsing – Pondok Pucung – Bojong Manggis –
Pager Wesi – Kedung Badak – Panaragan.
Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van
Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui
bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan
tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus
dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang “de toegang”
(jalan masuk) atau “de opgang” (jalan naik) ke Pakuan.
Beberapa hal yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:
a. Alun-alun Empang ternyata bekas
alun-alun luar pada jaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan
dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari
Kampung Lolongok sampai Cipakancilan).
b. Tanjakan Bondongan yang sekarang,
pada jaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga
hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan
kaki.
c. Tanah rendah di kedua tepi tanjakan
Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung
kepada kaki benteng Pakuan, d. Jembatan Bondongan yang sekarang, dahulu
merupakan pintu gerbang kota.
d. Di Belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Cisadane.
Pada kunjungn tahun 1704, di seberang
“jalan” sebelah barat tempat patung “Purwa Galih” ia telah mendirikan
pondok peristirahatan (“somerhuijsje”) bernama “Batutulis”. Nama ini
kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti
tersebut.
B. Berita dari Naskah Tua
Dalam kropak (tulisan pada rontal atau
daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk
yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah
diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang
belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan
mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura
Suradipati. “Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri
Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy
diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka
hulu Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah
dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa�.
(Di sanalah bekas keraton yang oleh
Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura
Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja
Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan.
Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke
hadapan Maharaja Tarusbawa).
Dari sumber kuno itu dapat diketahui
bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari “hulu Cipakancilan”.
Hulu Cipakancilan terletak dekat lokasi kampung Lawang Gintung yang
sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu
pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah
bernama Cipakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menterjemahkannya
menjadi Cipeucang. Dalam bahasa Sunda kuno dan Jawa kuno kata “kancil”
memang berarti “peucang”.
C. Hasil Penelitian
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti
sejak tahun 1806 dengan pembuatan “cetakan tangan” untuk Universitas
Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich
tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti
isinya. Akan tetapi, hanya C.M. Pleyte yang mencurahkan pada lokasi
Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.
Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan
tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam
tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg (Angka tahun
pada Batutulis di dekat Bogor), Pleyte menjelaskan “Waar alle legenden,
zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige
dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran’s koningsburcht
stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering
in deze te trachten”.
(Dalam hal legenda-legenda dan
berita-berita sejarah yang lebih dipercayai menunjuk kampung Batutulis
yang sekarang sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran, masalah yang
timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).
Sedikit kotradiksi dari Pleyte adalah pertama ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, akan tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Sedikit kotradiksi dari Pleyte adalah pertama ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, akan tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan
terbagi atas “Dalem Kitha” (Jero kuta) dan “Jawi Kitha” (Luar kuta).
Pengertian yang tepat adalah “kota dalam” dan “kota luar”. Pleyte masih
menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah
Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.
Peneliti lain seperti Ten Dam menduga
letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni
Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana
Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang
data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada
anggapan bahwa “Leuwi Sipatahunan” yang termashur dalam lakon-lakon lama
itu terletak pada alur Ciliwung di dalam Kebun Raya Bogor. Menurut
kisah klasih, “leuwi” (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para
puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak
jauh dari “Leuwi Sipatahunan” itu.
Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas
Asrama Resimen “Cakrabirawa” (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah
itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama “Mila Kencana”. Namun hal
ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu,
lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya
merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan
dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di
ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan
datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling
besar. Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa
benteng ini “Kuta Maneuh”.
Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah “hoff” (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata “paseban” dengan tujuh (7) batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas “balay” yang lama.
Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah “hoff” (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata “paseban” dengan tujuh (7) batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas “balay” yang lama.
Panelitian lanjutan membuktian bahwa
benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng yang pernah
dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, Lawang Saketeng berarti “porte
brisee, bewaakte in-en uitgang” (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam
dan luarnya). Kampung Lawang Saketeng tidak terletak tepat pada bekas
lokasi gerbang.
Benteng pada tempat ini terletak pada
tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan,
kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga
Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara
sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan
Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi,
sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng.
Selanjutnya benteng tersebut mengikuti
puncak lembah Ciliwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi –
Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini
benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang
sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang
puncak lereng Ciliwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang
Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat
daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus
memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini
bersambung dengan “benteng alam” yaitu puncak tebing Cipaku yang curam
sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota
Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing
Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing
Cipakancilan memisahkan “ujung benteng” dengan “benteng” pada tebing
Kampung Cincaw.
Pakuan Ibukota Kerajaan Sunda
Tome Pires (1513) menyebutkan bahwa dayo
(dayeuh) Kerajaan Sunda terletak dua hari perjalanan dari Pelabuhan
Kalapa yang terletak di muara Ciliwung. Sunda sebagai nama kerajaan
tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan
Sukabumi. Prasasti yang di Bogor banyak berhubungan dengan Kerajaan
Sunda pecahan Tarumanagara, sedangkan yang di daerah Sukabumi
berhubungan dengan Kerajaan Sunda sampai masa Sri Jayabupati.
A. Kerajaan Sunda Pecahan Tarumanagara
Di Bogor, prasasti itu ditemukan di
Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah
peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya.
Dalam prasasti itu dituliskan :
“ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda”.
Terjemahannya menurut Bosch:
“Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat
dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan
begara dikembalikan kepada raja Sunda”.
Karena angka tahunnya bercorak
“sangkala” yang mengikuti ketentuan “angkanam vamato gatih” (angka
dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka
atau 536 Masehi.
Beberapa ratus meter dari tempat
prasasti itu, ditemukan pula dua prasasti lainnya peninggalan Maharaja
Purnawarman yang berhuruf Palawa dan berbahasa Sangsekerta. Dalam
literatur, kedua prasasti itu disebut Prasasti Ciaruteun dan Prasasti
Kebon Kopi, sebuah daerah bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig.
Prasasti Ciaruteun semula terletak pada aliran sungai Ciaruteun, 100
meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Cisadane. Tahun 1981
prasasti itu diangkat dan diletakkan dalam cungkup. Prasasti Ciaruteun
ditulis dalam bentuk puisi 4 baris, berbunyi:
“vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam”.
Terjemahannya menurut Vogel:
“Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti
(telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang
termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara”.
Prasasti Ciaruteun bergambar sepasang “pandatala” (jejak kaki). Gambar jejak telapak kaki menunjukkan tanda kekuasaan yang berfungsi mirip “tanda tangan” seperti jaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut “Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara” parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman (395-434 M) terdapat nama “Rajamandala” (Raja daerah) Pasir Muhara.
Prasasti Ciaruteun bergambar sepasang “pandatala” (jejak kaki). Gambar jejak telapak kaki menunjukkan tanda kekuasaan yang berfungsi mirip “tanda tangan” seperti jaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut “Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara” parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman (395-434 M) terdapat nama “Rajamandala” (Raja daerah) Pasir Muhara.
Lahan tempat prasasti itu ditemukan
berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai:
Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih
dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta
Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
“jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam”
(Kedua jejak telapak kaki adalah jejak
kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa
Tarumanagara yang jaya dan berkuasa).
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah
nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur.
Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah
perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan
Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara
berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula
mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu
dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing
perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan
nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh
para ahli diduga sebagai “huruf ikal” yang masih belum terpecahkan
bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda
di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah,
matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).
Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Tarumanagara dan ukiran
sepasang “bhramara” (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam
segala “kemudaan” nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui
kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi
prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang
terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan
Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun
berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi
dua baris :
“shriman data kertajnyo narapatir –
asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara
fedyavikyatavammo tasyedam – padavimbadavyam arnagarotsadane
nitya-dksham bhaktanam yangdripanam – bhavati sukhahakaram shalyabhutam
ripunam”.
Terjemahannya menurut Vogel :
“Yang termashur serta setia kepada
tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang
memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah
musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang
selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan
jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan
duri bagi musuh-musuhnya”.
Kerajaan Taruma didirikan Rajadirajaguru
Jayasingawarman dalam tahun 358 M. Ia wafat tahun 382 dan dipusarakan
di tepi kali Gomati (Bekasi). Ia digantikan oleh puteranya,
Dharmayawarman (382 – 395 M) yang setelah wafat dipusarakan di tepi kali
Candrabaga. Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395 – 434
M). Ia membangun ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 yang terletak
lebih dekat ke pantai dan dinamainya “Sundapura”.
Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun
dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah “kota pelabuhan
sungai” yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan
Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk
angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang
bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan
peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun
536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah
Suryawarman (535 – 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa,
parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam
masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak
penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas
daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara.
Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai
lanjutan politik ayahnya.
Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat
dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi
Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan
pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa
prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu
terdapat di sana? Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau
hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?
Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja
Purnawarman dalam tahun 397 M untuk menyebut ibukota kerajaan yang
didirikannya. Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon
memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan
musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah
kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa
II sarga 3 (halaman 159 – 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan
Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara
atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga
(sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali
Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat
pada masa silam.
Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir
Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala
bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan
daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser
ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura
atau Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam
tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan
Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I – VIII).
Ketika pusat pemerintahan beralih dari
Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi
kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu
Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di
India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan
ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.
Suryawarman tidak hanya melanjutkan
kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak
kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga
mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M,
misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di
Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh
Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan
kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan
daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan
Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
Tarumanagara sendiri hanya mengalami
masa pemerintahan 12 orang raja. Dalam tahun 669, Linggawarman, raja
Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman
sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi
istri Tarusbawa dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri
Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya.
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.
Karena Putera Mahkota Galuh berjodoh
dengan Parwati puteri Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah,
maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa
supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan
ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh.
Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi duakerajaan,
yaitu: Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Citarum sebagai batas.
Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan
ibukota kerajaan yang baru, seperti yang sudah diungkapkan dibagian
sebelumnya, di daerah pedalaman dekat hulu Cipakancilan. Dalam cerita
Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan
di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakalbakal raja-raja Sunda dan
memerintah sampai tahun 723 M.
Karena putera mahkota wafat mendahului
Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana)
diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri inilah yang
dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda II. Cicit
Wretikandayun ini bernama Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda
ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai
Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.
Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian
menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dalam tahun
732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari
Tejakencana, Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah
Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja
Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.
Telah diungkapkan di awal bahwa nama
Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di
daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan
empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu
ditemukan pada aliran Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat
Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan.
Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno.
Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusatdengan nomor kode D
73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama
(menurut Pleyte):
D 73 :
//O// Swasti shakawarsatita 952
karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri-
ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen
wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita
harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-
D 96 : gaway tepek i purwa sanghyang
tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani
baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah.
Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia
sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan
pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.
D 97 : sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.
Terjemahannya :
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan
Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku
Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen
Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak.
Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar
ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah
sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu.
Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua
batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan
dengan Sumpah.
Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda
lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris,
intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut
melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut
diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan
dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan
membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, “I
wruhhanta kamung hyang kabeh” (Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).
Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah
Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda
terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti
sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan
pada bagian sungai (Cicatih) yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang
Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir
Muara dan Pasir Koleangkak yang tidakmenunjukkan letak Ibukota
Tarumanagara.
Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati
bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III
sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 – 964) saka
(1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa
Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja
yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh
Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya
Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.
Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa
Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun
670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Cina yang menyebutkan bahwa
utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun
669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan
penobatannya kepada Raja Cina dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan
pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira
bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.
Tarusbawa adalah sahabat baik
Bratasenawa alis Sena (709 – 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini adalah
tokoh Sanna, ayah Sanjaya dalam Prasasti Canggal (732 M). Persahabatan
ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya.
Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh
Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari
putera sulungnya, Batara Danghyang Gurusempakwaja, pendiri kerajaan
Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera
bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).
Sebenarnya Purbasora dan Sena adalah
saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri
Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya
menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh
memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi
tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap
berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik
telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.
Dengan bantuan pasukan dari mertuanya,
Raja Indraprahasta, sebuah kerjaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora
melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena melarikan diri ke Kalingga, ke
kerajaan nenek isterinya, Maharani Simma. Sanjaya, anak Sena, berniat
menuntut balas terhadap keluarga Pubasora. Untuk itu ia meminta bantuan
Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja
Sunda yang memerintah atas nama isterinya.
Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan
khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga
sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya,
sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam
hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur.
Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi
Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.
Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih
dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati
kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua
bernama Resi Guru Jantaka atau Rahiyang Kidul, yang tak bisa
menggantikan Wretikandayun karena menderita “kemir” atau hernia.
Balangantrang bersembunyi di kampung Gegegr Sunten dan dengan diam-diam
menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di
daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah
kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu
membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sanjaya mendapat pesan dari ayahnya,
Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya
harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa
Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya.
Setelah berhasil mengalahkanPurbasora, ia segera menghubungi uwaknya,
Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau agar Demunawan, adik
Purbasora, direstui menjadi Penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja
menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan
muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.
Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi
Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya
terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari
bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja
Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan
pemerintahan di Galuh ia menganngkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora.
Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia
43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi karena
ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat
Sajalajaya.
Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup
beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum,
adalah cucu Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan
Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.
Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri
memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia
baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau
Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak
di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari
ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya
dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.
Untuk mengikat kesetiaan Premana
Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan
Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda.
Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh
sekaligus memimpin “garnizun” Sunda di ibukota Galuh.
Premana Dikusumah menerima kedudukan
Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena
Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja
bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap
musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima
oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus
dihormatinya.
Kedudukan Premana serba sulit, ia
sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus
tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut
seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di
dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga
meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya
kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi “mata dan telinga”
Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang
membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana,
dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).
Skandal itu terjadi karena beberapa
alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian
ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah
berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja
Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena
kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.
Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah
seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya
sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya
tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.
Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta
Kerajaan Medang dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa
Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan
Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan,
sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru
Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Demikianlah Tamperan menjadi penguasa
Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 – 739 M.
Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan
rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki
Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak
tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.
Sesuai dengan rencana Balangantrang,
penyerbuan ke Galuh dilakukan sianghari bertepatan dengan pesta sabung
ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama
anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam.
Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.
Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat
seperti peristiwa tahun 723 ketika Sanjaya berhasil menguasai Galuh
dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga
dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas.
Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari
tahanan.
Akan tetapi hal itu diketahui oleh
pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah.
Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhirdengan
kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri
melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan
Tamperan dan Pangrenyep.
Berita kematian Tamperan didengar oleh
Sanjaya yang ketika itu memerintah di Medang yang kemudian dengan
pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu
sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa
pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi
Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi
Sanjaya.
Perang besar sesama keturunan
Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Rajaresi Demunawan (lahir
646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh
dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada
Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun739 ini, Sunda dan Galuh
yang selama periode 723 – 739 berada dalam satukekuasan terpecah
kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja
bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia
sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.
Untuk memperteguh perjanjian, Manarah
dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai
penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana
memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu
Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik
Kancanawangi.
Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy,
Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan
bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya
sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia
harus berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di
sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagi raja bawahan
Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739 – 766).
Manarah di Galuh memerintah sampai tahun
783. Ia dikaruniai umur panjang. Dalam tahun tersebut ia melakukan
manurajasuniya, mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan
tapa sampai akhir hayat, dan baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.
Dalam naskah-naskah babad, posisi
Manarah dan Banga ini dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana
Banga dianggap lebih tua. Tapi, juga dalam penempatan mereka sebagai
raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai
dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai
tampak dalam naskah Carita Waruga Guru yang ditulis pada pertengahan
abad 18.
Kekeliruan paling menyolok dalam babad
ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit.
Padahal, Majapahit baru didirikan Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun
setelah Banga wafat. Kekalutan itu dapat dibandingkan dengan kisah
pertemuan Walangsungsang dengan Sayidina Ali yang masa hidupnya
berselisih 8 1/2 abad.
Keturunan Manarah putus hanya sampai
cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 – 852). Tahta Galuh
diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah
Kulon (819 – 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung
dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua kerajaan pecahan Tarumanagara
itu diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan di antara
para kerabat keraton:
Sunda -Galuh-Kuningan (Saunggalah).
Sri Jayabupati yang prasastinya telah
dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang
Ageng (1019 – 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat
dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri
Darmawangsa, adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Dan Karena pernikahan
tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Darmawangsa.
Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.
Raja Sri Jayabupati pernah mengalami
peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda
keturunan Sriwijaya dan menantu Darmawangsa, ia harus menyaksikan
permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya,
Darmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa
tinggal diam dalam kekecewaan karena harus “menyaksikan” Darmawangsa
diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia
diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan
tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini.
Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcuta (disimpan di sana) disebut
pralaya itu terjadi tahun 1019 M.
Di bawah ini adalah urutan Raja-raja Sunda sampai Sri Jaya Bupati yang berjumlah 20 orang :
1. Maharaja Tarusbawa (669 – 723 M)
2. Sanjaya Harisdarma, cucu-menantu no. 1,(723-732 M).
3. Tamperan Barmawijaya (732-739 M).
4. Rakeyan Banga (739-766 M).
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M).
6. Prabu Gilingwesi, menantu no. 5,(783-795 M).
7. Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6, (795-819 M).
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M).
9. Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 – 895 M).
10.Windusakti Prabu Dewageng (895 – 913 M).
11.Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M).
12.Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu no. 11, (916-942 M).
13.Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M).
14.Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M).
15.Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).
16.Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989 M).
17.Prabu Brajawisesa (989-1012 M).
18.Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M).
19.Prabu Sanghyang Ageng (1019 – 1030 M).
20.Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030–1042 M )
2. Sanjaya Harisdarma, cucu-menantu no. 1,(723-732 M).
3. Tamperan Barmawijaya (732-739 M).
4. Rakeyan Banga (739-766 M).
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M).
6. Prabu Gilingwesi, menantu no. 5,(783-795 M).
7. Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6, (795-819 M).
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M).
9. Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 – 895 M).
10.Windusakti Prabu Dewageng (895 – 913 M).
11.Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M).
12.Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu no. 11, (916-942 M).
13.Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M).
14.Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M).
15.Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).
16.Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989 M).
17.Prabu Brajawisesa (989-1012 M).
18.Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M).
19.Prabu Sanghyang Ageng (1019 – 1030 M).
20.Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030–1042 M )
Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4)
– Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelat barat
Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.
A.Kawali Ibukota Baru
1. Pusat Pemerintahan Berpindah-pindah
Bila rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tumbuh secara bersangsur-angsur, ini mudah dipahami karena banyaknya kelompok etnik yang menjadi penduduk Indonesia. Rasa kesatuan etnik Sunda di Jawa Barat pun tidak tumbuh serempak, melainkan berangsur-angsur.
Bila rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tumbuh secara bersangsur-angsur, ini mudah dipahami karena banyaknya kelompok etnik yang menjadi penduduk Indonesia. Rasa kesatuan etnik Sunda di Jawa Barat pun tidak tumbuh serempak, melainkan berangsur-angsur.
Telah dikemukakan bahwa keturunan
Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun 852 tahta Galuh
jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang beristrikan
puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah
dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan iparnya sebagai
Raja Sunda IX dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana. Kehadiran orang
Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara
umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang
Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 – 895) dibunuh oleh seorang
menteri Sunda yang fanatik.
Karena peristiwa itu, tiap Raja Sunda
yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya
menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu
berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895
sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh
iring-iringan rom an raja baru yang pindah tempat.
Ayah Sri Jayabupati berkedudukan di
Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan, tetapi puteranya berkedudukan di Galuh
lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda ke-22 dan ke-23) memerintah di
Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh dan raja ke-25, yaitu Prabu Guru
Darmasiksa mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke
Pakuan. Puteranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah dan
dipusarakan di Taman, Ciamis.
Proses kepindahan seperti ini memang
merepotkan (menurut pandangan kita), namun pengaruh positifnya jelas
sekali dalam hal pemantapan etnik di Jawa Barat. Antara Galuh dengan
Sunda memang terdapat kelainan dalam hal tradisi. Anwas Adiwijaya (1975)
mengungkapkan bahwa orang Galuh itu “orang air”, sedang orang Sunda
“Orang Gunung”. Yang satu memiliki “mitos buaya”, yang lain “mitos
harimau”.
Di daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih
ada beberapa tempat yang bernama Panereban. Tempat yang bernama demikian
pada masa silam merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena
menurut tradisi Galuh, mayat harus “dilarung” (dihanyutkan) di sungai.
Sebaliknya orang Kanekes yang masih menyimpan banyak sekali “sisa-sisa”
tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah. Tradisi “nerebkeun” di
sebelah timur dan tradisi “ngurebkeun” di sebelah barat (membekas dalam
istilah panereban dan pasarean).
Peristiwa sejarah telah meleburkan kedua
kelompok sub-etnik ini menjadi satu “Orang Air” dengan “Orang Gunung”
itu menjadi akrab dan berbaur seperti dilambangkan oleh dongeng Sakadang
Kuya jeung Sakadang Monyet (kura-kura dan monyet). Dongeng yang khas
Sunda ini sangat mendalam dan meluas dalam segala lapisan masyarakat,
padahal mereka tahu, bahwa dalam kenyataan sehari-hari monyet dan kuya
itu bertemu saja mugkin tidak pernah (di kebun binatang pun tidak pernah
diperkenalkan).
Dalam abad ke-14 sebutan SUNDA itu sudah
meliputi seluruh Jawa Barat, baik dalam pengertian wilayah maupun dalam
pengertian etnik. Menurut Pustaka Paratwan i Bgumi Jawadwipa, Parwa I
sarga 1, nama Sunda mulai digunakan oleh Purnawarman untuk Ibukota
Tarumanagara yang baru didirikannya, Sundapura. Idealisme kenegaraan
memang terpaut di dalamnya karena Sundapura mengandung arti kota suci
atau kota murni, sedangkan Galuh berarti permata atau batu mulia (secara
kiasan berarti gadis).
2. Peran bergeser ke timur.
Dalam abad ke-14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu Kawali (artinya kuali atau belanga). Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu disangkutpautkan dengan Kawali. Dua orang Raja Sunda dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).
Dalam abad ke-14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu Kawali (artinya kuali atau belanga). Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu disangkutpautkan dengan Kawali. Dua orang Raja Sunda dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).
Sebenarnya gejala pemerintahan yang
condong ke timur sudah mulai nampak sejak masa pemerintahan Prabu
Ragasuci (1297-1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu
Darmasiksa), ia tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan
karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di
timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya Prabu Citraganda, sekali
lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Ragasuci sebenarnya bukan putera mahkota
karena kedudukanya itu dijabat kakaknya Rakeyan Jayadarma. Menurut
Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Jayadarma adalah
menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan Dyah
Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mereka berputera Sang Nararya
Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya, yang lahir
di Pakuan.
Karena Jayadarma wafat dalam usia muda,
Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya
dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya
disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran yang kemudian menjadi Raja
Majapahit yang pertama.
Sementara itu, kematian Jayadarma
mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa
Timur. Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci,
Citraganda, sebagai calon ahli warisnya. Permaisuri Ragasuci adalah Dara
Puspa, puteri Kerajaan Melayu, adik Dara Kencana isteri Kertanegara.
Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa
wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah selama enam tahun di
Pakuan. Ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah. Dari 1303
sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di Pakuan dan ketika wafat ia
dipusarakan di Tanjung.
Prabu Lingga Dewata, putera Citraganda,
mungkin berkedudukan di Kawali. Yang pasti, menantunya, Prabu Ajiguna
Wisesa (1333-1340) sudah berkedudukan di Kawali dan sampai tahun 1482
pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa disebut bahwa tahun
1333-1482 adalah Jaman Kawali dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat
dan mengenal lima orang raja.
Lain dengan Galuh, nama Kawali
terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu
yang tersimpan di Astana Gede, Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan
“mangadeg di kuta Kawali” (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya
disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai “Dalem sipawindu hurip”
(keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu
Kancana adalah putera Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di medan
Bubat dalam tahun 1357. Ketika terjadi Pasunda Bubat, usia Wastu Kancana
baru 9 tahun dan ia adalah satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup
karena ketiga kakaknya meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh
pamannya Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora (ada juga yang
menyebut Prabu Kuda Lalean, sedangkan dalam Babad Panjalu disebut Prabu
Borosngora. Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia
menjadi pertapa dan resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati dimakamkan
di Geger Omas.
Setelah pemerintahan di jalankan
pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana dinobatkan menjadi
raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama
adalah Lara Sarkati puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir Sang
Haliwungan, yang setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu
Susuktunggal. Permaisuri yang kedua adalah Mayangsari puteri sulung
Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinannya dengan
Mayangsari lahir Ningrat Kancana, yang setelah menjadi penguasa Galuh
bergelar Prabu Dewa Niskala.
Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475,
kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam
kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan
perkawinan antar cucu Wastu Kencana. Jayadewata, putera Dewa Niskala,
mula-mula memperistri Ambetkasih, puteri Ki Gedeng Sindangkasih,
kemudian memperistri Subanglarang. Yang terakhir ini adalah puteri Ki
Gedeng Tapa yang menjadi Raja Singapura.
Subanglarang ini keluaran pesantren
Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid Syekh
Hasanudin yang menganut Mazhab Hanafi. Pesantren Qura di Karawang
didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang
belajar di situ selama dua tahun. Ia adalah nenek Syarif Hidayatullah.
Kemudian Jayadewata mempersitri Kentring
Manik Mayang Sunda puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda
dan Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan.
3. Ibukota kembali ke Pakuan
Kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478 telah mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rom an pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah Prabu Kertabumi. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang isterinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.
Dalam Carita Parahiyangan disebutkan “estri larangan ti kaluaran”. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut “perundang-undangan” waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan.
Kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478 telah mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rom an pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah Prabu Kertabumi. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang isterinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.
Dalam Carita Parahiyangan disebutkan “estri larangan ti kaluaran”. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut “perundang-undangan” waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan.
Dengan demikian, Dewa Niskala telah
melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai
raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga
besan Dewa Niskala) mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun,
kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang
berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa
Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata.
Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan
Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata).
Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai “Susuhunan” karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai “Susuhunan” karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
B. Raja-raja Pajajaran
1. Sri Baduga Maharaja
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 thaun (1482 – 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah “sepi” selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rom an raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 thaun (1482 – 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah “sepi” selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rom an raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
“Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang
Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja
Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”.
(Hanya orang Sunda dan orang Cirebon
serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja
Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal
sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah
mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan
Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam
berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang
buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari
Prabu Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i
Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri
Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang.
Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
“Di medan perang Bubat ia banyak
membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu
senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah
orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar
Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak
terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak
tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran
dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat.
Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara
atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja
membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan,
angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu
Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya
lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan
orang Sunda”.
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda
dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah
dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah
Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja
Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya (“silih”nya)
bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut
naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah, orang Sunda tidak memperhatikan
perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu
Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan
bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah “seuweu” Prabu Wangi. Mengapa
Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala
hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang
penerus “langsung” dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I
Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan
Susuktunggal) hanya bergelar PRABU, sedangkan Jayadewata bergelar
Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa
Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir
Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai “silih” (pengganti)
Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu
Wangisutah). “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga
babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari
ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu
Kancana.
Adakah diantara rekan-rekan yang bisa
bercerita lebih jauh tentang peritiwa Bubat? Saya hanya dapat sekilas
info dari Suaramerdeka yang menerangkan sbb.:
“Perang antara Kerajaan Majapahit dan
Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat. Perang ini dipicu oleh ambisi
Maha Patih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu
sebenarnya antara Kerajaan Sunda dan Majapahit sedang dibangun ikatan
persaudaraan, yaitu dengan menjodohkan Dyah Pitaloka dengan Maharaja
Hayamwuruk. Nah Rom an Kerajaan Sunda ini di gempur oleh pasukan
Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan semua pasukan Kerajaan Sunda yang
ikut rom an punah. Akibat perang Bubat inipula, maka hubungan antara
Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi renggang”.
Ada sebuah pustaka yang bisa dijadikan
rujukan, Guguritan Sunda, yang Mengisahkan gejolak sosial dan pecahnya
perang di Desa Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan
gugurnya Mahapatih Gajah Mada secara misterius. Alih bahasa oleh I
Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya ditulis dalam Bahasa Bali,
1995. Dan bagi yang tinggal di USA, pustaka ini bisa dipinjam di Ohio
University. Di Jerman mah masih gelap — belum diketahui).
Proses kepindahan isteri Ratu Pakuan
(Sri Baduga) ke Pakuan terekam oleh pujangga bernama Kai Raga di Gunung
Srimanganti (Sikuray). Naskahnya ditulis dalam a pantun dan dinamai
Carita Ratu Pakuan, yang diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-17 atau
awal abad ke-18. Naskah itu dapat ditemukan pada Koropak 410 . Isinya
adalah sebagai berikut (terjemahannya saja):
Tersebutlah Ngabetkasih bersama
madu-madunya bergerak payung lebesaran melintas tugu yang seia dan
sekata hendak pulang ke Pakuan kembali dari keraton di timur halaman
cahaya putih induk permata cahaya datar namanya keraton berseri emas
permata rumah berukir lukisan alun di Sanghiyang Pandan-larang keraton
penenang hidup.
Bergerak barisan depan disusul yang
kemudian teduh dalam ikatan dijunjung bakul kue dengan tutup yang diukir
kotak jati bersudut bulatan emas tempat sirih nampan perak bertiang
gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke Pakuan.
Bergerak tandu kencana beratap cemara
gading bertiang emas bernama lingkaran langit berpuncak permata indah
ditatahkan pada watang yang bercungap singa-singaan di sebelah
kiri-kanan payung hijau bertiang gading berpuncak getas yang bertiang
berpuncak emas dan payung saberilen berumbai potongan benang tapok
terongnya emas berlekuk berayun panjang langkahnya terkedip sambil
menoleh ibarat semut, rukun dengan saudaranya tingkahnya seperti semut
beralih.
Bergerak seperti pematang cahaya
melayang-layang berlenggang di awang-awang pembawa gendi di belakang
pembawa kandaga di depan dan ayam-ayaman emas kiri-kanan kidang-kidangan
emas di tengah siapa diusun di singa barong.
Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian barisan yang lain lagi.
Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian barisan yang lain lagi.
Yang dikisahkan dalam pantun itu adalah
Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri Sri Baduga yang pertama (puteri Ki
Gedeng Sindang Kasih, putera Wastu Kancana ketiga dari Mayangsari). Ia
pindah dari keraton timur (Galuh) ke Pakuan bersama isteri-isteri Sri
Baduga yang lain.
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri
Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari
kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat
Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini
bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di
Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan
bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat
Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran.
Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”.
Maka diperintahkan kepada para petugas
muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti
dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas
mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan”
(ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini
dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan),
“calagra” (pajak tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan
“pare dondang” (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak
tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”.
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari
daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas
sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut
Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas
termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan,
melainkan kepada penguasa setempat.
“Pare dondang” disebut “panggeres
reuma”. Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha.
Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di
bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani
membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan).
Dongdang adalah alat pikul seperti “tempat tidur” persegi empat yang
diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang
harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong
selalu berayun sehingga disebut “dondang” (berayun). Dondang pun khusus
dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan.
Oleh karena itu, “pare dongdang” atau “penggeres reuma” ini lebih
bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak
tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit disebut
“walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan
untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara
saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang
kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan “wwang tani
bakti di wado” (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah
prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini
terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak
mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk “rodi”. Bentuk dasa
diubah menjadi “Heerendiensten” (bekerja di tanah milik penguasa atau
pembesar). Calagara diubah menjadi “Algemeenediensten” (dinas umum) atau
“Campongdiesnten” (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum,
seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis
pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan
dengan imbalan dan makan. “Preangerstelsel” dan “Cultuurstelsel” yang
keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga
ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah
menjadi “lakon gawe” dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat
pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang
Sunda mempunyai peribahasa “puraga tamba kadengda” (bekerja sekedar
untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap
berlangsung. Di desa ada kewajiban “gebagan” yaitu bekerja di sawah
bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para
pembesar setempat.
Jadi “gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa”, menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Jadi “gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa”, menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa
“piteket” karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya
pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas “kabuyutan” di Sunda
Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang
disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.
Untuk mengetahui lebih lanjut kejadian di masa pemerintahan Sri Baduga, marilah kita telusuri sumber sejarah sebagai berikut:
a. Carita Parahiyangan.
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
“Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan
ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena
kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang
siksa”.
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi
sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit
batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa
sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran
agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa
pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam)
dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut “loba” (serakah) karena
merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.
b. Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Naskah ini menceritakan, bahwa pada
tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat
menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke
Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara
Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi
raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]
Ketika itu Sri Baduga baru saja
menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian
diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di
Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan
Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota
pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui
kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan
gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Akhirnya Jagabaya
menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan
Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan
tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta
tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan
Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah
sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi
Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena
Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri
Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh
penguasa Pajajaran].
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri
Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia
mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit
pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun
PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat,
tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh
kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri
memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya
memiliki enam (6) buah jung ukuran 150 ton dan beberaa lankaras (?)
untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda
jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].
Keadaan makin tegang ketika hubungan
Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari
kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :
1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Sabrang Lor alias Yunus Abdul
Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala,
panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara
berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang
sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera
mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonsi d’Albuquerque
di Malaka (ketika itu baru saja merebut Pelabuhan Pasai). Sebaliknya
upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati
(Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing
sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran
dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan
sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan
Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon.
Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang
permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya —
Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara —
diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke
arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan
keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan
sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut
mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda
is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah
dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan
perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa
(Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul)
setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi
muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang
dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad
ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa
pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan)
sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian
diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu
Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di
Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 – 1521). Ia disebut
secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia
dipusarakan di Rancamaya.
Melihat itu, jelas, bagaimana Rancamaya —
terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara Kota Bogor – memiliki
nilai khusus bagi orang Sunda. Rancamaya memiliki mata air yang sangat
jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs makam
kuno dengan pelataran berjari-jari 7,5 m tertutup hamparan rumput halus
dan dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu
terdapat pohon hampelas, patung badak setinggi kira-kira 25 m dan sebuah
pohon beringin.
Dewasa ini seluruh situs sudah
“dihancurkan” orang. Pelatarannya ditanami ubi kayu, pohon-pohonannya
ditebang dan makam kuno itu diberi saung. Di dalamnya sudah bertambah
sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti dengan bata pelesteran,
ditambah bak kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi huruf
Arab. Makam yang dikenal sebagai makam Embah Punjung ini mungkin sudah
dipopulerkan orang sebagai makam wali. Kejadian ini sama seperti kuburan
Embah Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di Kebun Raya yang
“dijual” orang sebagai “makam Raja Galuh”.
Telaga yang ada di Rancamaya, menurut
Pantun Bogor, asalnya bernama Rena Wijaya dan kemudian berubah menjadi
Rancamaya. Akan tetapi, menurut naskah kuno, penamaannya malah dibalik,
setelah menjadi telaga kemudian dinamai Rena Maha Wijaya (terungkap pada
prasasti). “Talaga” (Sangsakerta “tadaga”) mengandung arti kolam. Orang
Sunda biasanya menyebut telaga untuk kolam bening di pegunungan atau
tempat yang sunyi. Kata lain yang sepadan adalah situ (Sangsakerta,
setu) yang berarti bendungan.
Bila diteliti keadaan sawah di
Rancamaya, dapat diperkirakan bahwa dulu telaga itu membentang dari hulu
Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul di sebelah utara jalan lama
yang mengitarinya dan berseberangan dengan Kampung Bojong. Pada sisi
utara lapang bola Rancamaya yang sekarang, tepi telaga itu bersambung
dengan kaki bukit.
Bukit Badigul memperoleh namanya dari
penduduk karena penampakannya yang unik. Bukit itu hampir “gersang”
dengan bentuk parabola sempurna dan tampak seperti “katel” (wajan)
terbalik. Bukit-bukit di sekitarnya tampak subur. Badigul hanya
ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah diduga bukit ini dulu “dikerok”
sampai mencapai bentuk parabola. Akibat pengerokan itu tanah suburnya
habis.
Badigul kemungkinan waktu itu dijadikan
“bukit punden” (bukit pemujaan) yaitu bukit tempat berziarah (bahasa
Sunda, nyekar atau ngembang = tabur bunga). Kemungkinan yang dimaksud
dalam “rajah Waruga Pakuan” dengan Sanghiyang Padungkulan itu adalah
Bukit Badigul ini.
Kedekatan telaga dengan bukit punden
bukanlah tradisi baru. Pada masa Purnawarman, raja beserta para pembesar
Tarumanagara selalu melakukan upacara mandi suci di Gangganadi (Setu
Gangga) yang terletak dalam istana Kerajaan Indraprahasta (di Cire
irang). Setelah bermandi- mandi suci, raja melakukan ziarah ke
punden-punden yang terletak dekat sungai.
Spekulasi lain mengenai pengertian adanya kombinasi Badigul-Rancamaya adalah perpaduan gunung-air yang berarti pula Sunda-Galuh.
2. Surawisesa (1521 – 1535)
Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan “kasuran” (perwira), “kadiran” (perkasa) dan “kuwanen” (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.
Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan “kasuran” (perwira), “kadiran” (perkasa) dan “kuwanen” (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber
Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi
Alfonso d’Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka
dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan
penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires,
sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis
yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan.
Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis
mengenai perdagangan dan keamanan.
Dari perjanjian ini dibuat tulisan
rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu) Menurut Soekanto
(1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam menganggap
bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian
dikutip Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift
opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield”.
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa
Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap
kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar
dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian
pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000
karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua
“costumodos” (kurang lebih 351 kuintal).
Perjanjian Pajajaran – Portugis sangat
mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk
perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang
berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu
masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur
perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam
putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah
Khan yang menjadi Senapati Demak.
[Fadillah Khan memperistri Ratu
Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu
Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah
menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon.
Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati
karena buyutnya Barkta Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek
Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu Fadillah masih terhitung cucu
Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim
Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden
Patah (Sultan Demak I).
Barros menyebut Fadillah dengan
Faletehan. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk Fadillah Khan. Tome
Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil (julukan Fadillah Khan
sehari-hari).
Kretabhumi I/2 menyebutkan, bahwa makam
Fadillah Khan (disebut juga Wong Agung Pase) terletak di puncak Gunung
Sembung berdampingan (di sebelah timurnya) dengan makam Susushunan Jati.
Hoesein Djajaningrat (1913) menganggap Fadillah identik dengan
Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam buku Sejarah
Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita Parahiyangan menyebut
Fadillah dengan Arya Burah]
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan
pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah
Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului
dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan
para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten
terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya
mengungsi ke Ibukota Pakuan.
Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya
(Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526). Setahun kemudian,
Fadillah bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan
Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang
bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat
dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan
meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena
Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi
Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa
dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan
untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa
badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka.
Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai
Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara
Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan
memberikan nama kepada Cisadane “Rio de Sa Jorge”. Kemudian galiun De sa
memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang
langsung ke Pelabuhan Kalapa.
Coelho terlambat mengetahui perubahan
situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa
sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang
banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529
Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan
tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian
menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran
dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa
di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran
Cakrabuana (Walasungsang atau bernama pula Haji Abdullah Iman).
Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan demikian,
keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran
menjadi hilang.
Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya
relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi
mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke
Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana tebunuh), kemudian
disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon pun turut menjadi
goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan
bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.
Perang Cirebon – Pajajaran berlangsung 5
tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi
tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai
kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak
lebih jauh ke selatan. Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di
sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat
bantuan Pasukan meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak
mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi “panah besi yang besar
yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta
memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena
meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan
Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.
Sumedang masuk ke dalam lingkaran
pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati
Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu
Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri
adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia
menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?)
Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon.
Dengan kedudukan yang mantap di timur
Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan
ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua
pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan
masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan
Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. Di
pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran Pasarean
(Putera Mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati banten).
Perjanjian damai dengan Cirebon
memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya.
Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan
menerawang situasi dirinya dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya
tinggal setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah
memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan
belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah
inti kerajaannya.
Dalam suasana seperti itulah ia
mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi
kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang
ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia
tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang
diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya
wafat, ia membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya.
Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh
Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di
Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu
ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak
dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan
tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri
tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu
diletakkan agak ke belakang di samping kiri Lingga Batu.
Surawisesa tidak menampilkan namanya
dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu.
Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala
ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan
upacara srada yaitu “penyempurnaan sukma” yang dilakukan setelah 12
tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal
dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Surawisesa dalam kisah tradisional lebih
dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma.
Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang
terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati
adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya
penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat
terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini terletak kerajaan
kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Di Muara
Beres in bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke
Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan
Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman dahulu merupakan titik silang.
Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara
Ciliwung dan disebut jalan Banten lama (oude Bantamsche weg)].
Surawisesa memerintah selama 14 tahun
lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk
ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja jaman
Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional,
baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya,
semata mengisahkan “petualangan” Surawisesa (Guru Gantangan) dengan a
cerita Panji.
3. Ratu Dewata (1535 – 1534)
Surawisesa digantikan oleh puteranya,
Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima
perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan
taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam)
dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu.
Menurut istilah kiwari vegetarian.
Resminya perjanjian perdamaian
Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai
tunggul negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk
politik.
Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut
menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon, akan tetapi itu
dia lakukan hanya karena kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan
Jati) yang melihat kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum.
Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu karena
wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan Pajajaran. Maka secara
diam-diam ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu
bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini
telah dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan merupakan catatan khusus
Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh Yusuf.
Menurut Carita Parahiyangan, pada masa
pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan
dan musuh “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena
memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali
pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu
menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan
peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin
dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. [Alun-alun
Empang sekarang pernah menjadi Ranamandala (medan pertempuran)
mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada
cucunya].
Penyerang tidak berhasil menembus
pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan
Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. [Kokohnya benteng Pakuan adalah
pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan
yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha membebaskan
diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah berjuang
selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan parit
pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada jaman Sri
Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2
yang isinya antara lain (artinya saja).
"Sang Maharaja membuat karya besar,
yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan
yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh
kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan
pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun
kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya),
kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran),
tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari
raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang
Kerajaan Pajajaran"
Amateguh kedatwan (memperteguh kedatuan)
sejalan dengan maksud "membuat parit" (memperteguh pertahanan) Pakuan,
bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau
kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam
hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.
Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan
yang berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau lemah luhur
(dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte"). Pada posisi
ini, mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas
bukit. {Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit
rendah yang dikelilingi tiga batang sungai pernah dijadikan pemukiman
"lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi}. Lokasi Pakuan
merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah
Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan
pelindung alamiah.
{Tipe lemah duwur biasanya dipilih sama
masyarakat dengan latar belakang kebudayaan huma (ladang). Kota-kota
yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti ini
biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan perkebunan.
Tipe lain adalah apa yang disebut garuda ngupuk. Tipe seperti ini
biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah.
Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan
adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik
pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut,
Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua persyaratan tipe ini.
Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri menurut idealisme Pesisir Cirebon
karena ia orang Sindangkasih (Majalengka) yang selalu hilir mudik ke
Cirebon. Baru pada waktu kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola garuda
ngupuk pada lokasi pusat kota Sumedang yang sekarang}]
Gagal merebut benteng kota, pasukan
penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan
pusat-pusat keagamaan di Sumedeng, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam
jaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin
bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus
“memerintah dengan baik”. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu
hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan
manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena
itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan
sindiran (kepada para pembaca)
“Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan”
(Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu
melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani
menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek “Samangkana
ta precinta” (begitulah jaman susah).
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Kemudian raja ini melakukan pelanggaran
yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini “estri larangan ti
kaluaran” (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi
dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir
ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. Ia hanya
beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin dan
Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasurua dan
Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.
5. Ratu Nilakendra (1551 – 1567)
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih
parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan
musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para
pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran ini mengutamakan
mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang
yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Seringkali,
untuk mempercepat keadaan tidak sadar itu, digunakan minuman keras yang
didahului dengan pesta pora makanan enak.
“Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar”
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh
makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang
layak dengan tingkat kekayaan).
Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu (“dibalay”) mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun “rumah keramat” (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.
Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu (“dibalay”) mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun “rumah keramat” (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.
Mengenai musuh yang harus dihadapinya,
sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah “bendera
keramat” (“ngibuda Sanghiyang Panji”). Bendera inilah yang diandalkannya
menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi
laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib
Nilakendra dikisahkan “alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan”
(kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Nilakendra sejaman dengan Panembahan
Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah Banten tentang
serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya
Yusuf, dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan
itu adalah Putera Mahkota Yusuf. Peristiwa kekalahan Nilakendra ini
terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan
Fadillah wafat 2 tahun kemudian).
Demikianlah, sejak saat itu ibukota
Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada
penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan
sanggup bertahan 12 tahun lagi.
6. Raga Mulya (1567 – 1579)
Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. [Mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari].
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2 :
Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. [Mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari].
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2 :
“Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala”
(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M.
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti (artinya saja):
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti (artinya saja):
“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan
Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya
satu lima kosong satu”.
Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh
Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan
mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun
Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu
Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.
Yang terpenting dari naskah Banten
tersebut adalah memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat
dibobol setelah terjadi “penghianatan”. Komandan kawal benteng Pakuan
merasa sakit hati karena “tidak memperoleh kenaikan pangkat”. Ia adalah
saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam,
Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu
benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.
Kisah itu mungkin benar mungkin tidak.
Yang jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang
dibuat Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun,
pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.
Dan berakhirlah jaman Pajajaran (1482 –
1579). Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat
duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten
oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu
terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu
“mengharuskan” demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut,
di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan
memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan
Pajajaran yang “sah” karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga
Maharaja.
Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut:
“Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna
palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan
Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati,
inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.
(Sang Susuktunggal ialah yang membuat
tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di
Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Kata Palangka secara umum berarti tempat
duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah
tahta penobatanyaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada
upacara penobatan. Di atas Palangka itulah si (calon) raja diberkati
(diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di kabuyutan
kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu
terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu tahta seperti ini
oleh penduduk biasanya disebut batu pangcalikan atau batu ranjang (bila
kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu
pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang
di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang
Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang
dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan
Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat
ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena
mengkilap, orang Banten menyebutnya watu gigilang. Kata gigilang berarti
mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata sriman.
Bogor Tunas Pajajaran
Mengapa bekas Pakuan itu kosong tanpa
penghuni ketika ditemukan oleh Scipio dalam tahun 1687? Itulah
pertanyaan yang seringkali terlontar dari banyak pihak. Dan paparan di
bawah ini, mudah-mudahan, bisa menjelaskan..
1.Masa Tilem
Waktu antara “Pajajaran sirna” sampai “ditemukannya kembali” oleh ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota yang pernah berpenghuni sekitar 48.271 jiwa ini ditemukan sebagai “puing” yang diselimuti oleh hutan tua (geheel met out bosch begroeijt zijnde; 1703).
Waktu antara “Pajajaran sirna” sampai “ditemukannya kembali” oleh ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota yang pernah berpenghuni sekitar 48.271 jiwa ini ditemukan sebagai “puing” yang diselimuti oleh hutan tua (geheel met out bosch begroeijt zijnde; 1703).
Untuk jamannya, Bogor merupakan kota
terbesar kedua di Indonesia setelah Demak yang berpenduduk 49.197 jiwa,
dan masih dua kali lipat lebih banyak dari penduduk Pasai (23.121 jiwa)
yang merupakan kota terbesar ketiga.
Pakuan tersisih dari percanturan hidup.
Kemewahan yang ditampilkan oleh penghuni keraton dalam masa Nilakendra
hanyalah ibarat kobaran api lilin menjelang padam. Setelah raja tak lagi
berdiam di ibukota, kehidupan Pakuan sebagai pusat pemerintahan
sebenarnya sudah berakhir. Panembahan Yusuf dari Banten memadamkannya
“secara resmi” walaupun sebenarnya ia sudah berhasil mengakhiri
kekuasaan Raga Mulya (Suryakancana) di Pulasari sebelum itu. Dan masa
silam yang lebih sering memantulkan gema yang kabur itu, proyeksinya
dapat kita lihat dalam lakon pantun dan babad.
Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana
sendiri yang mengantarkan Scipio pada 1 September 1987, menjadi
peziarah pertama setelah terpisah satu abad dengan kehidupan Pakuan. Tak
heran, mereka menduga puing kabuyutan Pajajaran yang mereka temukan
sebagai singggasana raja.
Dalam tahun 1703, Abraham van Riebeeck
sudah melihat adanya sajen yang diletakkan di atas piring di kabuyutan
tersebut. Jadi sejak ditemukan rom an Scipio, orang merasa “bertemu
kembali” kembali dengan Pajajaran yang telah hilang.
Tahun 1709, Van Riebeeck melihat ladang
baru pada lereng Cipakancilan. Tanda kehidupan baru di bekas Pakuan
mulai muncul. Mudah diperkirakan bahwa peladang itu akan membuat dangau
tempat tinggalnya pada tepi alur Cipakancilan yang tidak kelihatan oleh
Van Riebeeck karena ia berkuda pada jalur Jalan Pahlawan yang sekarang.
Lain lahan lain pikiran. Pakuan bukan
hanya lahan melainkan juga kenangan. Lahannya “dihidupkan kembali”
tetapi kerajaanya takkan kembali. Inilah yang dirindukkan dan
disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap kali gema
Pajajaran menyentuh hati mereka:
“Geus deukeut ka Pajajaran ceuk galindeng Cianjuran, Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng panineungan”.
(Sudah dekat ke Pajajaran menurut lantun Cianjuran, Masih jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan)
Pakuan terasa dekat, tetapi tak kunjung
sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini akhirnya menjelmakan
gagasan Pajajaran Ngahiang atau Pajajaran Tilem seperti orang Ciamis
yang kehilangan Galuhnya mencetuskan dunia onom.
“Pajajaran henteu sirna, tapi tilem
ngawun-ngawun” (Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang). Ini
adalah kata-kata orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajarannya,
bahkan mereka berani menghibur diri dengan berkata: “Ngan engke bakal
ngadeg deui” [Suatu saat akan berdiri kembali).
2. Tanuwijaya peletak dasar "Negeri Bogor"
Riesz dalam De Geschiedenis van
Buitenzorg (1887) menjelaskan bahwa Tanuwijaya adalah orang Sunda dari
Sumedang yang berhasil membentuk "pasukan pekerja" dan mendapat perintah
dari Camphuijs untuk membuka hutan Pajajaran sampai akhirnya ia
mendirikan Kampung Baru yang menjadi tempat "kelahiran" (de bakermat)
Kabupaten Bogor yang didirikan kemudian.
Adapun Tanuwijaya, dalam catatan VOC
disebut Luitenant der Javanen (Letnan orang-orang Jawa) dan merupakan
Letnan Senior di antara teman-temannya. Kampung Baru yang didirikannya
ada di Cipinang (Jatinegara) dan di Bogor. Yang di Bogor mula-mula
bernama Parung Angsana. Tetapi ketika Tanuwijaya pindah dari Kampung
Baru Cipinang ke sana, ia kemudian memberi nama Kampung Baru. Sekarang
bernama Tanah Baru.
Terpengaruh oleh kunjungannya ke bekas
Ibukota Pakuan bersama Scipio, ia kemudian ingin mendekatkan diri dengan
peninggalan Siliwangi. Kampung-kampung seperti Parakan Panjang, Parung
Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung Banteng
dan Cimahpar adalah kampung-kampung yang didirikan Tanuwijawa bersama
pasukannya. Kampung Baru (Parung Angsana) saat itu sudah menjadi semacam
"pusat pemerintahan" bagi kampung-kampung yang didirikan secara
terpencar oleh anak buahnya.
Tanuwijaya pula yang mengambil inisiatif
membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan
orang-orang Kumpeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun
pemukiman pada daerah aliran Cikeas.Sementara, daerah aliran Ciliwung
antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati orang-orang
Mataram yang tidak mau kembali ke daerah asalnya setelah tercapainya
persetujuan antara Mataram dan VOC tahun 1677. Sebagian dari mereka
adalah pelarian pasukan Bahurekso, sebagian lagi kelompok resmi yang
dikirimkan Sunan Amangkurat I tahun 1661 ke Muara Beres, bekas basis
pasukan Rakit Mataram ketika mengepung Benteng Batavia.
Rasa hormat Tanuwijaya terhadap bekas
Ibukota Pakuan demikian besar sampai gerakan okupasinya dihentikkan pada
sisi utara Ciliwung. Ia tidak berani melintasinya. Juga kepada
rekan-rekannya yang berniat melintasi sungai tersebut dianjurkan agar
melakukannya jauh di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua).
Almarhum M.A. Salmun pernah menulis
dalam Majalah Intisari (salah satu nomor tahun pertama), bahwa yang
dimaksud Menak ki Mas Tanu dalam lirik lagu Ayang-Ayang Gung ya
Tanuwijaya ini. Benar tidaknya, wallaohualam. Tapi, hampir tiap baris
lirik lagu itu dapat diterapkan kepada keadaan Tanuwijaya dalam riwayat
hidupnya. Ia memang anak emas Kumpeni dan dibenci rekan-rekannya. Ia
ditunjuk Camphuijs menggantikan Letnan Pangirang (orang Bali. Atau
Makassar?) untuk membuka daerah selatan.
Di luar itu, rupa-rupanya, kedekatan
batin Tanuwijaya dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya
terhadap Kumpeni. Ia tentu merasakan bagaimana tidak masuk akalnya
seorang letnan seperti dirinya harus tunduk kepada seorang sersan
seperti Scipio yang kulit putih, padahal ia sendiri menjadi atasan
sersan pribumi. Akhirnya "anak emas" Kumpeni ini menjadi sekutu dan
pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap
perluasan daerah kekuasaan VOC. Meskipun, ia ditakdirkan jadi pihak yang
kalah. Sebagaimana Haji Perwatasari, Tanuwijaya dibuang ke Tanjung
Harapan di Afrika.
Orang dulu menyindir Tanuwijaya dengan
"lempa lempi lempong, ngadu pipi jeung nu ompong" (mengejar harapan
kosong, bermesraan dengan orang tak bergigi). Yang dimaksudkan dengan
"orang tak bergigi" di sini adalah Perwatasari yang kalah dalam
perjuangan.
Dalam masa penjajahan Belanda, penyusun
Babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan nama Tanuwijaya sebagai
"bupati pertama". Dalam daftar silsilah biasanya selalu dicantumkan
Mentengkara atau Mertakara, kepala Kampung Baru yang ketiga (1706 -
1718), yang menurut De Haan, adalah putera Tanuwijaya. Sebaliknya, para
penulis Belanda, lebih leluasa menyebutkan Tanuwijaya sebagai Bupati
Kampung Baru pertama dan peletak dasar Kabupaten Bogor.
Pengalaman Tanuwijaya dengan Kumpeni
adalah mirip dengan pengalaman Untung Surapari. Akan tetapi, jika benar
lirik Ayang-ayang Gung diciptakan untuk menyindir Tanuwijaya, maka kita
patut merenungkannya kembali.
Tahun 1745, sembilan distrik -- yaitu
Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindangbarang, Balubur,
Darmaga dan Kampung Baru -- digabungkan menjadi satu "pemerintahan" di
bawah kepala Kampung Baru dan diberi gelar Demang. Gabungan sembilan
distrik inilah yang dahulu disebut "Regentschap Kampung Baru" atau
"Regentschap Buitenzorg". Atas dasar itulah kedua sungai (Cisadane dan
Ciliwung) dalam lambang Kabupaten Bogor masing-masing digambarkan dengan
sembilan baris gelombang. Ada benarnya apa yang dikemukakan Riesz,
bahwa Kampung Baru (Tanah Baru) adalah "de bakermat" (tempat kelahiran)
Kabupaten Bogor.
3. Letusan Gunung Salak
Pada malam hari tanggal 4 dan 5 Januari
1699, Gunung Salak meletus dengan iringan gempa bumi yang sangat kuat.
Sebuah catatan dari tahun 1702 menceritakan keadaan yang diakibatkannya:
"Dataran tinggi antara Batavia dengan
Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta yang disebut Pakuan
yang asalnya berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi berubah
menjadi lapangan yang luas dan terbuka tanpa pohon-pohonan sama sekali.
Permukaan tanah tertutup dengan tanah
liat merah yang halus, seperti yang biasa digunakan tukang tembok. Di
beberapa tempat telah mengeras sehingga dapat menahan beban langkah yang
berjalan di atasnya, tetapi pada tempat-tempat lain orang dapat
terbenam sedalam satu kaki.
Di tempat bekas keraton yang disebut
Pakuan yang terletak di antara Batavia dengan Cisadane belum pernah
terjadi bencana lain yang menyebabkan tanah tersobek dan pecah
terbelah-belah menjadi retakan-retakan besar yang lebih dari satu kaki
lebarnya".
Berita lain mencatat bahwa aliran
Ciliwung dekat muaranya tersumbat sepanjang beberapa ratus meter akibat
lumpur yang dibawanya. Van Riebeeck yang membersihkan sumbatan itu
mengajukan tuntutan agar tanah Bojong Manggis dan Bojong Gede diberikan
kepadanya sebagai upah.
Untuk meneliti akibat gempa ini, Kumpeni
mengirimkan ekspedisi Ramp & Coops dalam tahun 1701 ke kaki Gunung
Pangrango. Dari survei ini diberitakan bahwa aliran Cikeumeuh masuk
terbenam ke dalam tanah dan sobekan puncak Gunung Salak menghadap ke
arah barat laut. Diperkirakan, tanah yang terbelah hebat itu terjadi
antara Ciliwung dan Cisadane. Dan panen batu dan pasir di daerah Ciapus
saat ini, bisa disebut, merupakan hadiah yang ditinggalkan letusan
Gunung Salak di akhir abad 17 itu.
Tak ada berita mengenai nasib penduduk
sepanjang aliran Ciliwung waktu itu. Hanya saja pada tahun 1701,
penduduk Kampung Baru masih dapat mengantar rom a Ram & Coops tadi.
Selain itu Abraham van Riebeeck tidak mencatat apa-apa mengenai
sisa-sisa akibat letusan itu. Ini menunjukkan bahwa kehidupan penduduk
yang masih jarang itu tidak terganggu. Bahkan, tahun 1704, Van Riebeeck
mendirikan pondok peristirahatan di Batutulis karena ia menganggap
Gunung Salak sudah tidak menakutkan lagi.
4. Kopi membuka Cakrawala Baru
Usaha Gubernur Jenderal Henricus
Zwaardecroon (1718 - 1725) membiakkan tanaman kopi di sekitar benteng
Batavia berhasil baik. Tahun 1721 hasil kopi sudah bisa dihasilkan di
beberapa daerah, diantaranya:
DAERAH PRODUKSI (dalam pikul)
Kampung Baru 61. 000
Kedung Badak 1. 596
Cipamingkis 43. 825
Cianjur & Jampang 59. 900
Cibalagung 5. 750
Cikalong 4. 350
Bekasi 482
Jati Nagara 8. 450
Cibadak 250
Pager Wesi 800
Tangerang 1. 800
Kedung Badak 1. 596
Cipamingkis 43. 825
Cianjur & Jampang 59. 900
Cibalagung 5. 750
Cikalong 4. 350
Bekasi 482
Jati Nagara 8. 450
Cibadak 250
Pager Wesi 800
Tangerang 1. 800
Melihat hasil yang baik ini, sejak 15
April 1723, tanaman kopi juga wajib ditanamkan di tanah-tanah swasta
sekitar Jakarta. Sejak saat itu, mulailah apa yang disebut Sistem
Priangan, Preanger Stelsel, yang berlangsung selama dua abad lamanya.
Tahun 1724, Wiranata III (Bupati Cianjur) telah dapat memanen kopi
sebanyak 1.216.257 pikul, yang nilainya kala itu 202. 271,25 ringgit.
Selain kopi, tanaman yang diwajibkan
dalam "stelsel" itu adalah kapas, lada dan tarum (indigo). Toh, kopilah
yang jadi primadona. Maklum, tanaman itu menjadi komoditi utama Hindia
Belanda di pasar dunia. Produk kopi dari Jawa Barat ini laku keras di
Meksiko dan telah berjasa menolong Kas Keuangan Pemerintah Hindia
Belanda zaman Daendels. Saat itu, hubungan ke negeri Belanda terputus
akibat peperangan antara Prancis dan Inggris. Atas dasar ini Jawa Barat
mendapat julukan gabus pelampung Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.
Politik dan sistem pemerintahan Belanda di Jawa Barat selalu disesuaikan
dengan kepentingan kopi ini. Meskipun,
untuk itu mereka menerapkan sistem tersendiri untuk setiap wilayah.
Sistem tanam paksa yang hanya berlaku di Cirebon disebut urstelsel.
Hari Jadi Bogor
1. Tanggal yang menjadi acuan
Hari jadi, dalam kaitan apapun juga,
menyangkut identitas. Salah satu identitas Bogor yang cukup n di Jawa
Barat adalah latar belakang sejarahnya karena di Bogor inilah terletak
Ibukota Pajajaran dan di sini pula Siliwangi pernah hidup dan
memerintah. Dua serangkai ini, Pajajaran dan Siliwangi, merupakan salah
satu kebanggan masyarakat Jawa Barat. Wajar sekali bila Pemerintah
Daerah Kotamadya dan Kabupaten Bogor sepakat mengambil titik awal
identitasnya dari dua serangkai ini.
Telah diungkapkan bahwa Jaman Pajajaran
dimulai dengan pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang dikenal dengan
sebutan Prabu Siliwangi. Sri Baduga
mulai memerintah tahun 1482 dan
berlangsung selama 39 tahun. Sejak dia memerintah Pakuan dijadikan
ibukota kerajaan menggantikan Kawali.
Peristiawa kepindahan itulah yang dijadikan titik tolak perhitungan hari jadi Bogor.
Hubungan antara Bogor dengan peristiwa
masa lalu sebenarnya tak sulit dicari karena sejak lama disadari oleh
orang-orang tua. Entje Madjid salah satunya (tokoh seni awal abad ke-20)
sudah lama mencetuskan lirik "Pajajaran tilas Siliwangi, wawangina
kasilih jenengan, kiwari dayeuhnya Bogor" (Pajajaran peninggalan
Siliwangi, namanya semerbak mewangi, kini kotanya Bogor).
Jadi beliau telah mengambil kesimpulan bahwa dayeuh Bogor adalah pengganti dayeuh Pajajaran.
Pengambilan angka tahun 1482 berpijak
pada telaah sejarah karena sumber yang ada akan menampilkan angka tahun
itu sebagai awal masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu
Siliwangi). Untuk bulan dan tanggal rupanya harus ditelusuri dari sumber
sejarah dengan berpijak pada upacara tradisional dengan nama Gurubumi
dan Kuwerabakti karena sumber-sumber sejarah itu tidak menuliskan secara
eksplisit mengenai bulan dan tanggalnya.
Berikut adalah penjelasan mengenai
upacara Gurubumi dan Kuwerabakti: Dalam Lakon Ngahiyangnya Pajajaran
dikisahkan, bahwa di Ibukota Pajajaran selalu diadakan upacara Gurubumi
dan Kuwerabakti setiap tahun. Dalam upacara itu hadir para pembesar dan
raja-raja daerah. Upacara itu dimulai 49 hari setelah penutupan musim
panen dan berlangsung selama sembilan hari dan kemudian ditutup dengan
upacara Kuwerabakti pada malam bulan purnama.
Kisah dari Pantun ini didukung oleh
sumber lainnya. Misalnya, Kropak 406 yang memberitakan bahwa raja-raja
daerah harus datang menghadap ke Pakuan setiap tahun. Di antara barang
antaran yang dibawa raja-raja daerah, ikut serta juga "Anjing Panggerek"
(Anjing Pemburu). Jadi dalam waktu perayaan yang sembilan hari itu,
kegiatan berburu juga dilakukan. Tome Pires menyebutkan, bahwa "the king
is great sportman and hunter" (Raja adalah olahragawan dan pemburu yang
ulung).
Fakta lain yang mendukung adalah upacara
Gurubumi ini masih biasa dilakukan di daerah pakidulan (bagian selatan
Banten dan Sukabumi). Mengenai Kuwerabakti, para sesepuh di Sirnaresmi
mengemukakan bahwa upacara itu hanya dilakukan di dayeuh. Meskipun
Sirnaresmi ini terletak di Kecamatan Cisolok - Sukabumi, yang dimaksud
dayeuh di sini adalah Bogor karena upacara Kuwerabakti ini dulu hanya
dilakukan di Ibukota Pajajaran. Kaum adat Sirnaresmi adalah keturunan
para pengungsi dari Pakuan waktu kota ini diserang Banten.
Dari cerita terdahulu digambarkan bahwa
latar belakang kebudayaan masyarakat Pajajaran adalah pertanian ladang.
Di Jawa Barat, masyarakat ladang murni hanya tinggal Masyarakat Baduy di
Kanekes (Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak). Dalam hal ini, yang
berkaitan dengan Upacara Gurubumi dan Kuwerabakti adalah siklus
pertaniannya, terutama menyangkut musim panennya. Kalender Pertanian
Masyarakat Baduy sejalan dengan pranatamangsa yang pada masa lalu juga
digunakan oleh masyarakat tani di seluruh Pulau Jawa dan Bali.
Perbedaan usia bulan memang ada, tetapi
jumlah hari dalam setahun tetap sama, yaitu 365 hari. Kedua kalender itu
pun berpedoman kepada bentang waluku (bentang=bintang), yang di Kanekes
dan Kiarapandak (Cigudeg), juga disebut bentang kidang (Sunda). Gugus
bintang ini terletak pada rasi Orion. Kadang-kadang juga digunakan gugus
bintang tetangganya, yaitu Kereti (Kartika atau Pleyades) yang terdapat
pada rasi Taurus. Pengamatan astronomi traditional ini bertujuan untuk
mengamati musim, sebab baik di ladang maupun di sawah, musim tanam padi
harus pada musim labuh (Sunda: dangdangrat), yaitu musim hujan awal yang
jatuh pada minggu ketiga bulan September. Musim panen jatuh pada bulan
Maret karena usia padi rata-rata 5 bulan 10 hari, kecuali padi jenis
Hawara yang usianya lebih pendek.
Untuk lebih jelas, mungkin patut
diketahui: Kalender Baduy diawali dengan Kapat atau Sapar. Upacara musim
panen di Kanekes hanya diadakan di Kajeroan yaitu upacara Kawalu.
Upacara pergantian tahun (Ngalaksa) diadakan tiga hari sebelum tahun
berganti. Upacara Kawalu jatuh pada bulan Maret, sedangkan upacara
Ngalaksa di adakan Bulan Katiga (pranatamangsa: Sada) yang jatuh pada
bulan Juni.
Dari uraian Pantun di atas diperkirakan
bahwa untuk tahun 1482, upacara Kuwerabakti dilangsungkan pada tanggal 2
Juni, malam 3 Juni. Pada tanggal 3 Juni 1482 inilah secara resmi
kegiatan upacara selama sembilan hari di Ibukota itu berakhir.
Upacara Gurubumi yang diadakan 49 hari
setelah panen tentunya bukan tiada maksud. Lamanya penyelanggaraan
upacara itu dimaksudkan agar raja-raja daerah berkesempatan mengadakan
upacara penutupan panen di daerahnya masing-masing sebelum berangkat ke
ibukota. Seperti yang masih terjadi di Kanekes. Upacara di daerah itu
jatuh pada sekitar bulan Maret.
Dan yang menjadi titik perhatian dalam
masalah ini adalah mulai berfungsinya kembali Pakuan sebagai pusat
pemerintahan. Wajar sekali bila peristiwa itu dirayakan dan disyukuri
yang bersamaan dengan memberikan pengumuman kepada raja-raja daerah
bahwa sejak saat itu pusat pemerintahan ada di Pakuan.
Dalam naskah Wangsakerta yang mengandung
nilai sejarah lebih tinggi dibanding naskah-naskah tradisional
diberitakan, bahwa waktu itu Sri Baduga baru dinobatkan dan beberapa
hari menempati kedatuan Sri Bima. Dengan demikian dapat diperkirakan
bahwa penobatan Sri Baduga Maharaja menjadi Susuhunan Pajajaran terjadi
pada bulan Maret/April tahun 1482.
Maka, perayaan besar dan peresmian
Pakuan menjadi pusat pemetintahan tentu dilangsungkan dalam peristiwa
upacara Gurubumi dan Kuwerabakti terdekat. Untuk 1482, upacara dimulai
tanggal 25 Mei dan ditutup 9 hari kemudian.
2. Bogor sebagai alur kehidupan
Topografi Pakuan dibentuk oleh dua
sungai, yaitu Cisadane dan Cihaliwung sehingga tak heran kalau kedua
sungai itu selalu disebut dalam rajah pantun. Sisipan ha pada Cihaliwung
hanyalah melengkapi suku kata menjadi delapan buah untuk kepentingan
matra. Oleh karena itu tak perlu disalah tafsirkan dengan selokan kecil
Cihaliwung pada alur Cikahuripan di belakang Pajaratan Embah Dalem di
Batutulis.
Kelengkapan alami di Pakuan ini
disempurnakan oleh Dalem Aria Natanagara dengan pembuatan saluran yang
menghubungkan Cisadane dan Ciliwung. Karya besar ini sebenarnya tidak
kalah nilainya dengan Parit Pakuan Karya Prabu Siliwangi yang membentang
sepanjang jalur rel kereta api dari Jembatan Bondongan sampai Station
Batutulis.
Pembangunan saluran buatan itu
sebenarnya dimaksudkan untuk mengairi pesawahan yang waktu itu masih
dibangun. Akan tetapi oleh orang-orang tua peristiwa itu ditanggapi dari
sisi lainnya. Pak Cilong menganggap pembuatan saluran itu sebagai suatu
"perkawinan alur hidup". Ia mengartikan kejadian itu dengan
"Ngadanikeun nu laliwung" (menyadarkan yang pada bingung).
Menurut Pak Cilong, dane atau dani
artinya sadar atu eling, arti kiasannya jernih, benih yang sewarna
dengan putih. Sedangkan liwung diartikan bingung atau kusut pikiran,
arti kiasannya keruh, kusam yang sewarna dengan hitam.
Pandangan orang tua ini sejalan dengan
pandangan umum yang menilai kehidupan dari sudut serba-dua. Misalnya
jasad yang fana (terdiri atas materi dan menjadi sarang nafsu) dan jiwa
yang abadi (yang lembut supra-materi dan menjadi sumber budi).
Demikianlah putih dan hitam yang dijadikan perlambang kehidupan dan itu
pulalah makna Cisadane dan Ciliwung yang, menurut Pak Cilong, airnya
dipadukan melalui alur Cipakancilan.
Sejalan dengan hal di atas, ada
kenyataan ganjil pada cara berpakain orang Baduy di Kanekes. Tumbuhan
tarum untuk bahan mencelup pakaian terdapat di seluruh daerah ini. Akan
tetapi tradisi mereka tetap mengharuskan orang Kajeroan tetap berikat
kepala putih, sedangkan orang Panamping berikat kepala biru kehitaman
(karena dicelup dengan tarum atau nila?).
Tentu saja kenyataan seperti ini bukan
hanya masalah teknis. Lihat saja pada Sundapura (Kota Sunda), ibukota
kerajaan Taruma yang dibangun Purnawarman. Kata Sunda (menurut
Macdonell) mengandung arti putih atau bersih, ini sejalan dengan arti
dani atau dane. Sedangkan Tarum mengandung arti nilai yaitu warna antara
biru dengan hitam, dan ini sejalan dengan arti liwung.
Brigjen Polisi Purnawarman R. Gojali
Suriamijaya dan Alm. Dadang Ibnu, salah satu pembantu Oto
Iskandardinata, dari Sukaraja mengajukan kisah yang sama, bahwa lambang
Galuh adalah harimau kumbang, sedangkan lambang Pajajaran adalah harimau
putih. Di sini yang ditonjolkan bukan harimaunya, melainkan warnanya,
yaitu warnah putih dan kumbang (warna antara birudengan hitam). Jadi
pola ini menunjukkan hal sama dengan pola sebelumnya.
Orang Pulau Jawa sendiri menyadap kata
wyaghra dari bahasa Sangsakerta yang mengandung arti hariamu atau
pahlawan. Dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 1,
dikisahkan bahwa Purnawarman yang selalu unggul dalam peperangan itu
dijuluki Wyaghra Ning Tarumanagara atau Harimau Tarumanagara. Jadi, ada
tradisi yang mengasosiasikan harimau dengan perbuatan kepahlawanan.
Ki Buyut Rambeng dalam lakon Dadap
Malang menggunakan sebutan maung selang untuk para senapati Pajajaran.
Konon, harimau ini kecil tetapi terkenal garang (menurut Coolsma,
"tijger met zwarte grondkleur roode strepen" = harimau dengan bulu dasar
hitam bergaris merah)].
Patung Harimau peninggalan masa silam
belum ditemukan, tetapi agama Budha memperkenalkan patung singa pengawal
seperti tampak di pelataran Candi Borobudur. Singa adalah lambang
Sidharta Gautama yang sebelum menjalani kehidupan sebagai Budha menjadi
pahlawan bangsanya dengan gelar Ksatria Sakyasimha (singa bangsa Sakya).
Ikonografi di Borobudur menampilkan
patung singa-pengawal dengan sikap duduk seragam seperti Spinx dekat
Piramida Gizeh di Mesir. Duduk pada kaki belakang dan bertopang pada
keduakaki depan yang dilipat menjulur ke depan sambil menegakkan dada.
Itulah sikap santai, tenang dan anggun tetapi penuh kewaspadaan tanpa
menampilkan sikap mengancam. Dengan sikap duduk seperti itu, hewan jenis
harimau dan singa dapat langsung berdiri dengan sekali gerakan lompat.
Masyarakat traditional di Jawa Barat
pada tahun 1930-an selalu membuat tabungan (cengcelengan) berbentuk
harimau dengan sikap duduk sepertisinga-pengawal di Borobudur itu. Hal
ini tentu saja diwarisinya turun-temurun.
Itulah kajian yang melatar-belakangi sikap duduk patung harimau di depan Balai Kota Bogor.
Pertanyaannya sekarang adalah, adakah
sebenarnya harimau yang berwana putih? Pertanyaan yang sama dapat pula
diajukan untuk patung badak putih atau sosok wayang Anoman. Pernahkan
pula ada burung rajawali yang berbulu ekor 8 helai, bersayap 17 helai
dan berbulu leher 45? Mungkin ada, entah di mana. Yang jelas ada dalam
mitos dan legenda atau kisah orang-orang tua.
Tapi bila kita saksikan bagaimana kisah
kepergian Surawisesa atas perintah ayahnya (Siliwangi) ke Malaka dalam
lakon pantun digubah menjadi kepergian Mundinglaya Dikusuma ke
Kahiyangan mencari Lalayang Salakadomas, dan tokoh Alfonso d’Albuquerque
digantikkan posisinya oleh tokoh Sunan Ambu, dapatlah disimpulkan bahwa
kisah-kisah ajaib seperti itu bernilai simbolik dan menyembunyikan
sesuatu kenyataan.Tidak mungkinkah kisah gaib harimau kumbang dan
harimau putih itu juga melambangkan kaitan historis antara Tarumanagara
(tarum=nila=hitam) dengan Sunda (putih)?.
Terlepas dari itu semua, orang
sependapat bahwa harimau menjadi lambang kepahlawanan dan putih
melambangkan kesucian, kemurnian, kejujuran dan keadilan. Patung harimau
putih hanyalah hiasan yang mudah-mudahan mampu mengingatkan kita apa
arti keadilan dan kejujuran dalam ajaran moralsebagai bagian warga
negara Republik Indonesia. “The Kingdom of Sunda is justly governed”
(kata Tome Pires) patut kita buktikan, minimal di sebagian kecil bekas
ibukotanya. Taruma-Sunda adalah identitas sejarah Bogor.
Ciliwung-Cisadane menjadi identitas
topografinya (waruga). Sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya,
Kotamadya Bogor memiliki bendera pengenal yang berwarna tarum dan putih
dengan lambang daerah di tengahnya. Silahkan baca saja bendera itu
dengan Kotamadya Bogor di atas lahan Ciliwung dan Cisadane.
Uraian ini ditambahkan sebagai pelengkap
dengan maksud memandang ke sisi lain tempat orang-orang tua yang bijak
merenungkan sesuatu di luar wujud materi. Manusia modern pernah beranjak
terlalu jauh dan menganggap dirinya berhadapan, bahkan berhak
menaklukkan alam. Namun pengalaman membuktikan bahwa mereka hanya
sebagian dari alam itu. Menaklukkan alam berartimemusnahkan diri sendiri
karena lingkungan hidup itu bukan untuk para penghuninya, melainkan
terdiri atas para penghuninya.
Hana nguni hana mangketan hana nguni tan
hana mangkeaya ma beuheula aya tu ayeunahanteu ma beuheula hanteu tu
ayeunahana tunggak hana watangtan hana tunggak tak hana watanghana ma
tunggulnya aya tu catangnya.
Sumber:
![]() |
Pemandangan desa di daerah Bogor di tahun 1880-an, dengan latar belakang Gunung Salak |
- Sejarah Bogor, Saleh Danasasmita
0 komentar:
Posting Komentar